PENDAHULUAN
Penyembahan merupakan salah satu isu penting di lingkungan gereja dewasa ini. Wacana “penyembahan” menjadi kajian hangat, diantaranya karena pro dan kontra makna dan praktek praktis “penyembahan” dalam liturgi gereja-gereja aliran pietisme. Tidak bisa menutup mata bahwa salah satu pemicu kajian penyembahan menjadi hangat salah satunya karena dipraktekkan oleh gereja-gereja “pietisme” yang belakangan disebut juga oleh Peter Wagner sebagai “apostolik baru” mengalami perkembangan yang pesat.
Kajian pro dan kontra makna dan praktek penyembahan sebenarnya bukan hanya terjadi pada gereja-gereja mainstream dan injili tetapi juga di dalam gereja-gereja “kontemporer “ sendiri. Di dalam gereja-gereja kontemporer sebenarnya juga tidak ada keseragaman dalam memaknai arti penyembahan.
Isu “penyembahan” menjadi begitu penting terutama sekali bila dikaitkan dengan Nats Injil Yohanes 4:24 “…Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran."
Diantara kalangan “Apostolik Baru” ada yang mengartikan menyembah dalam roh dan kebenaran berarti menyembah dengan berbahasa roh. Djohan E. Handoyo salah satu pelopor pujian dan penyembahan di Indonesia menjelaskan :
“Pribadi Allah adalah Roh. Dimensi penyembahan - sebagai komunikasi antara kita dengan Tuhan membutuhkan bahasa roh sebagai penghubungnya.”[1]
Bagi kalangan “mainstream dan Injili “ arti penyembahan bukan hanya dalam liturgi gereja, tetapi pada seluruh aspek. Penyembahan yang benar adalah hidup yang benar sesuai firman Tuhan. Kalau pun penyembahan diartikan dalam liturgi ibadah maka penyembahan itu juga bukan praktek penyemaahan dikalangan pietis. Makna seperti ini diantaranya disampaikan oleh John MacArthur :
“Penyembahan bukanlah masalah berada di tempat yang benar, pada waktu yang tepat. Penyembahan bukanlah kegiatan lahiriah yang menuntut terciptanya suasana tertentu. Penyembahan terjadi di dalam hati, dalam roh.”[2]
“Sifat dasar penyembahan adalah memberikan penyembahan kepada Allah dari bagian diri kita yang paling dalam, dalam pujian, doa, nyanyian, memberi bantuan, dan hidup, selalu berdasarkan kebenaran-Nya yang dinyatakan.”[3]
Asumsi dasar penulisan paper ini adalah bahwa kitab orang Kristen satu. Kitab gereja-gereja Pentakosta, Kharismatik, Apostolik Baru dan Mainstream serta Injili adalah satu, tentu yang menjadi pertanyaan klasik adalah mengapa makna dan praktek “menyembah dalam roh dan kebenaran” dalam Yohanes 4:24 berbeda ?
Karya tulis ini tidak semata-mata membahas mengenai mengapa mereka berbeda dalam memahami “menyembah dalam roh dan kebenaran” tetapi lebih tentang apa sebenarnya makna dan praktek “menyembah dalam roh dan kebenaran”? Tujuannya secara langsung adalah untuk mencari kebenarannya sesuai pesan Alkitab, dan juga tentunya memberikan kontribusi untuk “menjadi pertimbangan” terhadap pemahaman yang berbeda terhadap nats Alkitab tersebut.
2.
Konteks Alkitab
Untuk menemukan makna sebenarnya dari Yohanes 4:24 sehingga terbangun suatu teologi sesuai dengan tema penulisan paper ini, menggali teks Alkitab dalam konteksnya sesuai kaidah penafsiran yang ada adalah suatu kemutlakan.
A. Latar belakang peristiwa.Percakapan Tuhan Yesus dengan perempuan Samaria ( Yohanes 4:1-42) merupakan dialog antara orang Yahudi dengan orang Samaria. Suatu perjumpaan yang tidak lazim bagi orang Yahudi. Orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria. Sebab mereka merupakan “bangsa campuran yang memiliki agama campuran, yang sekalipun demikian menerima Pentateukh dan mengaku menyembah Allah Israel.”[4]
“Dalam naskah Kitab Ulangan yang diterima oleh bangsa Samaria pasal 27:4-5, Yosua diperintahkan mendirikan mezbah di Gunung Gerizim. Nas yang sama, dalam naskah yang diterima oleh umat Yahudi, berkata bahwa mezbah itu harus didirikan di Gunung Ebal, bukan gunung Gerizim. Bangsa Samaria menolak kitab-kitab suci yang lain, selain kelima Kitab Musa, maka mereka tidak menerima II Tawarikh 6:6, yang berkata,” Tetapi kemudian Aku memilih Yerusalem sebagai tempat kediaman nama-Ku dan memilih Daud untuk berkuasa atas umat-Ku Israel.”[5]
Siapa perempuan itu tidak disebutkan secara jelas identitasnya. Ketika Yesus berada di sumur Yakub, Dia meminta air kepada perempuan tersebut. Namun demikian lebih dari sekedar kebutuhan akan air , sama seperti terhadap Nicodemus, Yesus “menunjukkan bahwa perempuan itu mempunyai kebutuhan yang lebih mendalam, yaitu kebutuhan yang dapat dipenuhi oleh Yesus melalui karunia Allah”[6].
Secara moral perempuan Samaria merupakan orang berdosa dengan kehidupan pernikahannya yang tidak benar, dan melalui masalah itu pula Yesus membawa lebih jauh dalam hal keagamaan.
B. Tafsiran Yoh.4 : 20-24
Yoh 4:21 Kata Yesus kepadanya: "Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem.
Yoh 4:22 Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi.
Dave Hagelberg menyatakan bahwa “diantara segala perbedaan yang memisahkan bangsa Yahudi dan bangsa Samaria, tempat orang menyembah, merupakan salah satu yang paling pokok.”[7] Namun “di dalam tatanan baru yang di mulai dengan kedatangan Kristus, tempat penyembahan tidak sepenting Tokoh yang disembah.”[8] FF.Bruce juga menekankan : “The important question is not where people worship God but how they worship him.”[9]
“Tanggapan Tuhan Yesus terdiri dari Tiga bagian. Pertama (ayat 21) Dia memberitakan bahwa sebentar lagi kedua tempat ibadah menjadi usang, kedua (ayat 22) Dia menekankan bahwa keselamatan memang muncul dari umat Yahudi, bukan dari mereka, dan ketiga (ayat 23-24) Dia menjelaskan mengenai sifat keselamatan itu.”[10]
“Hal yang penting ialah bahwa orang menyembah Bapa, yang sudah diberitakan melalui kedatangan Sang Anak. Dengan mempergunakan istilah kamu Yesus mungkin mengantisipasi pertobatan orang-orang Samaria. Ibadah orang Samaria merupakan hal yang kacau (bdg II Raja 17:33). Keselamatan datang dari bangsa Yahudi di dalam arti bahwa penyataan khusus tentang cara mendekati Allah dengan benar disampaikan kepada mereka : dan Yesus sendiri, sang Juruselamat, berasal dari bangsa ini (Roma 9:5). Saatnya… sudah tiba sekarang. Bahkan sebelum sistem keagamaan yang baru diresmikan dengan sifatnya yang universal, para penyembah sejati memperoleh kehormatan untuk menyembah Allah sebagai Bapa di dalam Roh dan kebenaran. Roh tampak menoleh kebelakang, ke Yerusalem, dan penyembahan Yerusalem yang berdasarkan apa yang tersurat (hukum Taurat). Sedangkan kebenaran bertentangan dengan penyembahan orang Samaria yang tidak memadai dan palsu. Cara menyembah yang baru ini merupakan keharusan, sebab Allah itu Roh adanya”.[11]
1. Menyembah dalam roh.
Yoh 4:23 Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian.
Yoh 4:24 Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran."
Bahasa Yunani menyembah “proskuneo – pros-koo-neh-o, memuja, suatu sikap seperti anjing menjilat tuannya.”[12] Suatu hubungan yang dekat, hormat, lembut, taat dan penuh kasih sayang yang harmonis.
“Pengertian Allah itu Roh, bukanlah hal asing dalam pengertian Yudaisme, tetapi Yesus menekankan bahwa penyembahNya-pun harus selaras dengan Yang disembah. Formalitas ibadah keagamaan tidak akan menyentuh apa-apa jika dilakukan tanpa “Roh”.”[13]
Bob Sorge mengemukakan : “Yesus sedang menunjukkan bahwa penyembahan tidak lagi diikat pada waktu atau tempat tertentu ( bukan di Yerusalem, di mana orang-orang Yahudi menyembah ; bukan juga di gunung Gerizim, di mana orang-orang Samaria menyembah) ; melainkan ia akan menjadi suatu pekerjaan roh manusia menggapai Roh Tuhan. Yesus tahu saatnya segera datang yang mana korban-korban hokum Musa di Yerusalem tidak lagi diperlukan, dan penyembahan akan terjadi di dalam rumah Perjanjian Baru – manusia sendiri ( Lihat I Kor.3:16). Penyembahan sekarang dapat terjadi setiap saat, di mana saja orang yang penuh Roh berada.”[14]
Walliam Barclay juga menyatakan :“ Membatasi ibadah kepada Allah hanya di Yerusalem atau tempat-tempat lain yang tertentu saja adalah sama dengan memberi batas kepada Dia yang menurut hakekat-Nya sendiri tidak terbatas.”[15]
2.Menyembah dalam kebenaran.
Menyembah Allah bukan hanya dalam roh tetapi juga dalam kebenaran. “Penekanan "roh" (Yunani, πνευμα – pneuma), harus bersejajar dengan "kebenaran" (Yunani, αληθεια - alêtheia) ini harus dilakukan oleh penyembah-penyembah yang "sejati" (Yunani, αληθινος - alêthinos, Adj).[16]” James Montgomery Boise mengungkapkan : ”For Jesus said that those who acknowledge God’s true worth must do so “in spirit and in truth.” In other wods, they must do so “in truth” because truth has to do with what His nature is, and they must do so “in spirit” because they can only apprehend it spirituality.”[17]
“Dihubungkannya roh dan kebenaran memberi keterangan atas makna “The True worshipers ; mereka ini adalah kelompok orang yang benar-benar berbakti, dan berbeda dengan orang-orang lain yang “nampaknya” saja berbakti dengan melakukan “tingkah laku agamawi” dan “symbol-simbol agamawi.”[18]
Menurut James Montgomery Boice Menyembah dalam kebenaran memiliki tiga arti : “ First, it means that we must approach God truthfully, that is, honestly or wholeheartedly ; Second we must worship on the basis of the biblical revelation ; Finally, to God “in truth” also means that we must approach God Christocentrically. This is means “in Christ,” for this is God’s way of approach to Him.’[19]
3.
Wacana Konsep Teologis Menyembah
Perlu disadari bahwa ada penekanan yang berbeda ketika kita mencoba mengetengahkan kata “menyembah” dikalangan pentakosta dan kharismatik dengan mainstream dan Injili. Agi orang-orang Pentakosta dan kharismatik “penyembahan” berkonotasi pada bagian dari doa pribadi dan liturgi ibadah. Sedangkan bagi denominasi lain tidak seperti itu. Sebab itu untuk memudahkan membangun konsep yang benar perlu mencermati pengertian “menyembah” diantara mereka.
A. Penyembahan sebagai cara hidup.
John MacArthur, Jr meskipun menyinggung penyembahan dalam ibadah gereja, tetapi konsep penyembahannya berbeda dengan kalangan pietis. Pemaparan John MacArthur, Jr lebih mewakili gereja diluar aliran pietis. Ia memberikan pengertian penyembahan sebagai keseluruhan hidup orang percaya : “Pengertian kita tentang penyembahan diperkaya ketika kita memahami bahwa penyembahan sejati menyentuh setiap bidang kehidupan. Kita harus menghargai dan memuja Allah dalam segala hal.”[20] “ Memuji Allah, berbuat baik, dan memberi bantuan kepada orang lain-semua adalah tindak penyembahan yang benar dan alkitabiah.”[21] Rick Warren menegaskan : “ mempersembahkan diri kita kepada Allah itulah yang dimaksud dengan penyembahan.”[22]
John MacArthur, Jr membagi penyembahan dalam tiga dimensi : “Pertama, dapat tercermin dalam bagaimana kita bersikap terhadap orang lain ( Roma 14:18). Penyembahan dapat dinyatakan dengan membagi kasih dengan sesama orang percaya, mengabarkan Injil kepada orang-orang yang tidak percaya, dan memenuhi kebutuhan umat pada tingkat yang sangat jasmani. Kita dapat meringkasnya menjadi satu kata : penyembahan yang berkenan kepada Allah adalah member, yaitu kasih yang membagi ; Kedua, melibatkan tingkah laku pribadi (Efesus 5:8-10). Kata berkenan dalam kalimat ujilah apa yang berkenan kepada Tuhan adalah dari bahasa Yunani yang berarti “dapat diterima”. Dalam konteks ini, ia mengacu kepada kebaikan, keadilan dan kebenaran, yang jelas berarti bahwa berbuat baik adalah tindakan yang dapat diterima sebagai penyembahan kepada Allah ; Ketiga, dimensi ke atas (Ibrani 13:15-16), penyembahan itu adalah Ucapan syukur dan puji-pujian.”[23]
B. Penyembahan dalam pemahaman pietisme.
Meskipun tidak memungkiri bahwa hidup ini merupakan ibadah kepada Allah yang didalamnya kita menyembah Allah, kalangan pietime memiliki kekhususan sendiri tentang arti dan praktek menyembah. Mereka lebih menganggap menyembah itu suatu “momen” berhadapan langsung dengan waktu dan cara tertentu. Penyembahan ini bisa bersifat pribadi ketika bersaat teduh atau doa pribadi dan kelompok (bagian dari liturgi gereja).
Penyembahan bagi kalangan gereja kontemporer lebih merupakan “pemujaan” penuh ekpresi panca indra kepada Allah secara langsung dengan “bermazmur atau berbahasa roh”. Ini tentunya berbeda dengan berdoa dan bernyanyi, bahkan boleh dikatakan perpaduan dari keduanya. Simak apa yang di sampaikan Djohan E.Handoyo :
“ Penyembahan tidak hanya berupa suatu gerakan tubuh atau karya pikiran manusia untuk berserah kepada sesuatu yang lebih besar. Penyembahan adalah menikmati hubungan kita dengan-Nya.”[24]
“Penyembahan adalah ungkapan hati dan penyerahan total kepada Tuhan lebih dari sekedar memuji Tuhan. Kalau pujian adalah suatu ucapan syukur atas segala perbuatan Tuhan, penyembahan adalah pengakuan bahwa saya adalah milik-Nya dan Tuhan dalah milik saya.”[25]
Meskipun pemaparan Djohan E. Handoyo ini tidak menjelaskan secara spisifik tentang penyembahan, namun apa yang dikatakannya cukup memberi gambaran tentang apa itu penyembahan. Bagi kalangan pietis lebih tepat mengatakan seperti apa yang diungkapkan Morris Smith :” Penyembahan yang sejati menyimpang dari definisi ; ia hanya dapat dialami.”[26]
Penyembahan di dalam liturgi ibadah gereja-gereja kontemporer memiliki posisi dan porsi yang penting, sama seperti doa, pujian dan firman Tuhan. Dengan berbagai fariasinya penyembahan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan keagamaan kalangan akar Pentakosta dan Kharismatik.
4.
Memahami Secara Utuh
Menyembah Dalam Roh dan Kebenaran
Secara utuh pembicaraan Tuhan Yesus dengan perempuan Samaria adalah tentang ibadah yang benar kepada Allah. Ibadah itu berhulu kepada kata “menyembah”. Dan konsep teologis penyembahan dalam arti yang luas sebenarnya berkaitan dengan keberadaan orang percaya dihadapan Allah.
Hal utama yang perlu dicermati ketika Yesus memperbincangkan wacana menyembah dalam roh dan kebenaran sebenarnya lebih kepada tatanan makna. Tuhan Yesus lebih mementingkan esensi dari siapa yang disembah dengan cara tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Bukan metodenya tetapi sikapnya yang menjadi titik perhatian-Nya.
Untuk memahami secara utuh tentang konsep teologis menyembah dalam roh dan kebenaran, maka kita harus kembali kepada esensi utamanya dan tidak terjebak kepada hal-hal praktis yang sebenarnya lebih kepada ekspresi.
A. Menyembah : relasi dengan Allah sesuai Firman-Nya.
Hal yang prinsip dalam menterjemahkan menyembah Allah dengan roh dan kebenaran adalah bagaimana kita berelasi dengan Tuhan sesuai dengan Firman-Nya. Mengenal pribadi Allah dengan benar, sesuai dengan apa yang Dia ajarkan.
Bait Allah adalah tempat dimana Allah bersekutu dengan umat-Nya. Konsep bait Allah di dalam Alkitab mengalami perubahan yang revolusioner. Di dalam Perjanjian Lama bait Allah adalah bangunan secara fisik, namun di dalam Perjanjian Baru bait Allah adalah tubuh dan pribadi orang percaya. 1Kor 6:19 : “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?”
Secara teologis meskipun mengalami perubahan secara revolosioner namun esensi bait Allah tetap merupakan tempat persekutuan antara Allah dengan umat-Nya. Kemah Suci jaman Musa dibangun sebagai kehendak Allah untuk bersekutu dengan umat-Nya. Keluaran 29:45 :” Aku akan diam di tengah-tengah orang Israel dan Aku akan menjadi Allah mereka.” Di dalam persekutuan dengan Allah, umat-Nya harus mempersembahkan tubuhnya sebagai persembahan yang hidup. Rom 12:1 : “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah : itu adalah ibadahmu yang sejati.”
Di dalam konteks hidup sebagai persembahan inilah kehadiran Allah nyata di diri umat-Nya dan penyembahan mengalir dari kehidupan umat-Nya. Di dalam makna ini juga penyembahan melibatkan seluruh aspek kehidupan. Walliam Barclay menyatakan : “Kalau Allah itu roh, maka persembahan manusia kepada Allah haruslah juga persembahan roh. Persembahan korban binatang dan barang-barang lain buatan manusia tidaklah cukup. Persembahan yang berkenan kepada hakekat Allah hanya persembahan roh, yaitu kasih, kesetiaan, ketaatan dan penyerahan diri.”[27]
Selanjutnya sebagai bait Allah, Roma 12:1 diikuti Rom 12:2 : “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Sebagai bait Allah orang percaya harus hidup sesuai kehendak Allah : Kebenaran yang Allah berikan melalui fiman-Nya.
B. Menyembah : Ekspresi pengagungan Tuhan.
Relasi dengan Allah secara umum adalah di dalam seluruh aspek kehidupan kita dan secara khusus merupakan persekutuan pribadi dan ibadah di gereja. Ibadah gereja merupakan persekutuan umat dengan Allah. Di dalam ibadahlah umat memuji dan mendengarkan Firman Allah. R.C.Sproul seorang teolog Injili menjelaskan : “Ketika kita beribadah, kita membawa seluruh diri kita ke dalam tindakan berbakti kepada Allah dan berkomunikasi dengan Allah. Ada banyak cara untuk melakukan hal ini. Manusia bukan mahluk yang sederhana, melainkan bersifat kompleks. Jika kita dengan teliti menyelidiki apa yang tertulis di dalam Kitab Suci – bahwa kita harus menyembah Allah dengan seluruh jiwa, dengan seluruh tubuh dan dengan seluruh panca indera kita – kita akan mempunyai suatu pandangan baru tentang beribadah”[28] “Penglihatan, pendengaran, perasaan, sentuhan, penciuman –semuanya tercakup dalam pengalaman manusia. Kita dipengaruhi oleh panca indera dan juga dipengaruhi oleh pikiran. Pikiran kita, tubuh kita, jiwa kita, hati kita-seluruh diri kita harus terlibat di dalam ibadah. Saya yakin bahwa jika kita membuang salah satu segi kemanusiaan kita, berarti kita membuat ibadah kita menjadi miskin.”[29]
Bagi Ron Jenson dan Jim Stevens “Menyembah adalah mengadakan kontak dengan Allah – berdoa kepada Allah, memuji, menyanyi kepada Allah, mengaku di hadapan Allah dan memberi tanggapan kepada Allah sebagaimana Ia telah ditinggikan dan dinyatakan dalam Firman-Nya. Tujuannya adalah untuk memberi sesuatu, bukan untuk menerima sesuatu. Berkat pasti akan datang, karena menerima adalah hasil dari memberi.”[30]
Bagi kalangan pietis apostolik baru, penyembahan merupakan realitas dari pengagungan Tuhan dengan melibatkan seluruh panca indra dan emosi. Bahkan ada yang mengharuskan penyembahan dengan berbahasa roh.
C. Menyembah : relasi dengan intelektual dan ekspresi.
Meskipun tidak memberikan penyelesaian akhir, namun persoalan pokok tentang penyembahan sebenarnya bermuara pada dua kutup “intelektual dan ekspresi”. “Suatu kubu menyatakan bahwa perasaan religious adalah esensi kerohanian sejati. Apa yang Anda percayai atau lakukan tidaklah begitu penting, asalkan kasih Tuhan kepada jiwa Anda bisa Anda rasakan.”[31] Sementara yang lain berpendapat “inti dari kerohanian yang sejati adalah berpikir benar. Para pendukung pandangan ini berpendapat bahwa perasaan tidaklah terlalu penting dibandingkan doktrin dan sikap mental. Menurut mereka, keyakinan yang benar membuat jiwa tetap terikat pada fondasi kebenaran, sementara perasaan sifatnya berubah-ubah dan sering menyeret orang yang tidak tahu pada kesia-siaan.”[32]
Kubu pertama adalah gereja-gereja yang lebih menekankan pengalaman dari pada doktrin. Sedangkan kelompok kedua “lebih bersifat intelektual, kurang menyentuh aspek emosi dan tidak diwarnai antusiasme yang nyata. ”Penyembahan” yang dikenal dikelompok ini adalah menyanyikan lagu-lagu rohani yang membosankan dan dinyanyikan dengan kurang semangat.”[33]
Jonathan Edward tidak menyetujui ekstrim sepihak dari kedua kubu tersebut. “Menurutnya pandangan bahwa kerohanian sejati yang berpusat pada salah satu dari perasaan atau keyakinan adalah menyesatkan. Baik pikiran ataupun hati, keduanya sangat penting dan esensial bagi kerohanian yang sejati, sebab manusia adalah satu kesatuan. Kerohanian melibatkan setiap dimensi dari keberadaan manusia, baik perasaan, pikiran, maupun tindakan. Mempertentangkan antara pikiran dan perasaan, atau antara pikiran dan hati, sama dengan membagi seseorang menjadi seseorang menjadi bagian yang lepas.”[34]
John MacArthur, Jr memberikan kesimpulan yang baik : “Ketulusan, kegairahan, dan sikap agresif penting, tetapi semua itu harus didasarkan kepada kebenaran. Dan kebenaran adalah dasar, tetapi bila tidak menghasilkan hati yang berhasrat, gembira dan bergairah, penyembahan tersebut tidak lengkap.”
Secara pribadi penulis lebih cenderung kepada pemahaman bahwa orang percaya mesti pundasi yang kuat tentang doktrin iman Kristen. Namun pada sisi yang lain tetap bergairah, antusias dan hangat dalam mengekpresikan emosi atau perasaan dalam pengagungan kepada Tuhan. Intelektual tidak dingin, ekpresi tidak antipati terhadap intelektualitas-keduanya saling melengkapi. Namun demikian pada akhirnya memang perlu juga mencamkan apa yang dikatakan oleh Bob Sorge : “Tidak ada satu definisi pun yang tampaknya dapat mengekpresikan secara tepat tentang penyembahan secara lengkap – mungkin karena penyembahan adalah pertemuan Ilahi sehingga kedalamannya tidak sebatas sebagaimana Allah sendiri.”[35]
Rick Warren,Kehidupan yang digerakkan oleh Tuhan. Malang : Penerbit Gandum
Mas,2005.
R.C.Sproul, Menanggapi Allah dalam Ibadah. Malang : Penerbit Gandum Mas, 2002
Ron Jenson dan Jim Stevens, Dinamika Pertumbuhan Gereja. Malang : Penerbit
Gandum Mas,1996.
Wiliam Barlay, Pemahamn Alkitab Setiap Hari. Jakarta : BPK Gunung Mulia,1983
[1] Djohan E. Handoyo, Praise and Worship(Yogyakarta : Penerbit ANDI, 207) hal.50
[2] John MacArthur, Prioritas Utama dalam Penyembahan (Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 1993) hal. 151
[3] Ibid, hal. 162
[4] Charles F. P. Feiffer dan Everett F. Horrison, Tafsiran Alkitab Wycliffe Vol.3 PB , Everett F. Horrison, Yohanes ( Malang :Yayasan Penerbit Gandum Mas, 2001) hal.315
[5] Dave Hagelberg Tafsiran Injil Yohanes Pasal 1-5 (Yogyakarta : Yayasan Andi, 1999)hal.168
[6] Charles F. P. Feiffer dan Everett F. Horrison, Tafsiran Alkitab Wycliffe Vol.3 PB , Everett F. Horrison, Yohanes ( Malang :Yayasan Penerbit Gandum Mas, 2001) hal.315
[7] Dave Hagelberg Tafsiran Injil Yohanes Pasal 1-5 (Yogyakarta : Yayasan Andi, 1999)hal.168
[8] Charles F. P. Feiffer dan Everett F. Horrison, Tafsiran Alkitab Wycliffe Vol.3 PB , Everett F. Horrison, Yohanes ( Malang :Yayasan Penerbit Gandum Mas, 2001) hal. 316
[9] FF.Bruce, The Gospel Of John ( Grand Rapid : William B.Eerdmans Publishing Company,1983).hal.109
[10] Dave Hagelberg Tafsiran Injil Yohanes Pasal 1-5 (Yogyakarta : Yayasan Andi, 1999)hal.169
[11] Charles F. P. Feiffer dan Everett F. Horrison, Tafsiran Alkitab Wycliffe Vol.3 PB , Everett F. Horrison, Yohanes ( Malang :Yayasan Penerbit Gandum Mas, 2001) hal.315-317
[12] Strong”s Hebrew Greek Dictionaries, Joh 4:24, e-Sword
[13] Bagus Pramono,” Yesus dan Perempuan Samaria,” www.sarapanpagi.org; diakses tanggal 23 Junuari 2008; tersedia di www.sarapanpagi.org/yesus-dan-perempuan-samaria-vt465.html
[14] Bob Sorge, Mengungkap Segi-Segi Pujian dan Penyembahan (Yogyakarta :Yayasan ANDI,1991) hal.63
[15] Wiliam Barlay, Pemahamn Alkitab Setiap Hari ( Jakarta : BPK Gunung Mulia,1983), hal.273
[16] Bagus Pramono,” Perempuan Samaria,” www.sarapanpagi.org; diakses tanggal 23 Junuari 2008; tersedia di www.sarapanpagi.org/penyembah sejati vt283.html
[17] James Montgomery Boice, The Gospel of John V 1 (Grand Rapids, Zondervan Publishing House,1981), hal.365
[18] Sarapanpagi,” Penyembah Sejati,” www.sarapanpagi.org; diakses tanggal 23 Januari 2008; tersedia di www.sarapanpagi.org/penyembahsejati-vt283.html
[19] James Montgomery Boice, The Gospel of John V 1 (Grand Rapids, Zondervan Publishing House,1981), hal.368
[20] John MacArthur, Prioritas Utama dalam Penyembahan (Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 1993) hal.29
[21] John MacArthur, Prioritas Utama dalam Penyembahan (Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 1993) hal.29
[22] Rick Warren,Kehidupan yang digerakkan oleh Tuhan (Malang : Penerbit Gandum Mas,2005). Hal.86
-[23] John MacArthur, Prioritas Utama dalam Penyembahan (Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 1993) hal.28-29
[24] Djohan E. Handoyo, Praise and Worship(Yogyakarta : Penerbit ANDI, 207) hal.4
[25] Ibid, hal.4
[26] Bob Sorge mengutip Morris Smith, Mengungkap Segi-Segi Pujian dan Penyembahan (Yogyakarta :Yayasan ANDI,1991) hal.52
[27] Wiliam Barlay, Pemahamn Alkitab Setiap Hari ( Jakarta : BPK Gunung Mulia,1983), hal.273
[28]R.C.Sproul, Menanggapi Allah dalam Ibadah ( Malang : Penerbit Gandum Mas, 2002), hal.550
[29] Ibid, hal.551
[30] Ron Jenson dan Jim Stevens, Dinamika Pertumbuhan Gereja ( Malang : Penerbit Gandum Mas,1996),hal.41
[31] Gerald R.McDermott, Mengenali 12 Tanda Kerohanian Sejati ( Yogyakarta : Yayasan Andi, 1995), hal.31
[32] Gerald R.McDermott, Mengenali 12 Tanda Kerohanian Sejati ( Yogyakarta : Yayasan Andi, 1995), hal.31
[33] Ibid, hal.32
[34] Ibid, hal.33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar