Minggu, 17 Agustus 2008

Kepempimpinan Gembala ?

PENDAHULUAN

Profesionalisme adalah salah satu isu utama dunia modern. Setiap orang dituntut keahlian dalam bidangnya. Kondisi ini terjadi karena pernasalahan dunia semakin kompleks, sehingga kebutuhan akan kualitas adalah hal yang mutlak dan persaingan untuk menjadi yang terbaik tidak bisa dihindarkan. Kualitas berbicara tentang solusi terbaik, persaingan adalah mencari yang terbaik. Orang akan mencari yang terbaik dan yang dianggap tidak baik akan ditinggalkan. Dalam konteks seperti inilah sekarang gereja berada.

Saat ini gereja bukanlah pilihan utama dan satu-satunya. Ada bidang-bidang keahlian yang menyediakan jalan keluar bagi permasalahan manusia : Ilmu medis, psikologi, hukum, sosiologi, manajemen dan berbagai bidang lainnya dengan bermacami sistim serta fasilitas canggih tersedia. Di dunia modern manusia dengan berbagai pengetahuannya dianggap bisa menjawab kebutuhan sendiri. Pendeta bukan lagi dipandang sebagai profesi yang bisa menjawab seluruh persoalan manusia. Bahkan dalam bidang kepemimpinan dengan pola penggembalaan oleh gereja sudah dianggap ketinggalan jaman. Kepemimpinan sekuler dianggap lebih efektif dan efesien dari pada kepemimpinan gereja.

Derek T. Tinball dalam bukunya “Teologi Penggembalaan” mengemukakan bagaimana kepemimpinan gembala saat ini sedang digugat. Beberapa analisa yang dikemukakan Derek T. Tinball:

Pertama, peranan gembala jemaat diganti. Banyak hal yang secara tradisional biasanya dilakukan gembala jemaat sebagai satu- satunya orang yang berpendidikan dalam jemaat sejak lama telah diambil alih oleh profesi-profesi yang lain ; psikiater, dokter, konsultan dll.

Kedua, gambaran penggembalaan sudah dianggap kuno. Memandang pendeta serupa dengan seorang gembala memang masuk akal dalam suatu dunia yang pada dasarnya terdiri atas komunitas-komunitas pedesaan. Namun di dunia yang modern ini analogi domba dan gembala adalah pemandangan yang tidak lazim dan tidak lagi mempunyai arti. Perubahan struktural sosial mempengaruhi kita secara lebih mendalam dari yang kita sadari. Kita memaksakan suatu kerangka rasional dan ilmiah kepada dunia kita dan tidak lagi mendekati persoalan-persoalannya sebagai misteri-misteri besar, tetapi hanya sebagai masalah-masalah yang perlu dipecahkan melalui kemajuan tehnologi.

Ketiga, struktur-struktur penggembalaan dalam gereja telah dianggap ketinggalan jaman. Penyusunan struktur di dalam birokrasi gereja dilihat terlalu sederhana dan umum, sehingga tidak efektif dan menyentuh persoalan yang rumit dan kompleks.

Keempat, jabatan penggembalaan sedang digugat. Gereja sendiri sedang mengalami gejolak perubahan. Dasarwarsa 1960-an membuyarkan pandangan bahwa hal memiliki suatu gelar atau jabatan sudah cukup untuk membuat orang lain menerima apa yang dikatakan tanpa bertanya lagi. Sekarang wewenang harus diperoleh sebagai imbalan dan disahkan oleh pengalaman pribadi dan bukannya sebagai label kelembagaan. Hal ini juga terjadi dalam jabatan gembala.

Kelima, pendekatan penggembalaan dianggap ketinggalan zaman. Sementara sistem kepemimpinan di dunia sekuler terus menerus diperbarui supaya lebih efektif, namun sistem penggembalaan setelah sekian abad usianya secara umum tetaplah sama.

Keenam, batas-batas penggembalaan sedang kabur. Berpangkal dari kesadaran yang semakin besar bahwa Allah tidak dibatasi untuk bekerja di dalam dan melalui gereja saja dan kebenaran tidak ditemukan hanya dalam lingkungan gereja, maka seringkali permasalahan manusia tidak lagi memerlukan pemecahan dari gereja.

Bertitik tolak dari konteks penggembalaan dewasa ini yang dianggap tidak lagi sesuai dengan tuntutan kebutuhan zaman, pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah apa yang sebenarnya terjadi dalam kepemimpinan gembala ? Dimanakah sebenarnya letak permasalahan dalam pola penggembalaan ? Apakah pada metodenya atau karena konsep dan pelaksanaannya yang tidak sesuai dengan apa yang Allah maksudkan ? Sebab, tanpa mengurangi keobyektifan kadar ilmiah dalam penulisan, sebagai asumsi dasar penulis mempunyai keyakinan bahwa bila gereja menjalankan penggembalaan sesuai dengan desain yang Allah maksudkan di dalam Alkitab, maka kepemimpinan gembala tidak pernah usang, melainkan selalu “up to date.”

Melalui paper ini penulis mencoba untuk menggali kembali pada konsep dasar tentang apa yang dikatakan oleh Alkitab tentang kepemimpinan gembala. Secara khusus penulis mencoba kembali kepada Perjanjian Lama, dimana konsep kepemimpinan gembala berawal. Bagaimana Israel hidup dalam pola penggembalaan dan Allah sendiri disebutkan oleh Perjanjian Lama sebagai gembala atas umat-Nya.

1.

PERMASALAHAN KEPEMIMPINAN GEMBALA

Berabad-abad gereja terus sibuk dengan tema-tema teologi Kristen. Seiring dengan perkembangan jaman, dewasa ini gereja mulai meredefinisi kembali tentang arti, fungsi dan identitas kepemimpinan gembala. Tantangan ini bertumpu pada pokok kontekstualisasi pelayanan geraja pada zamannya. Gereja harus melayani manusia yang semakin maju dalam berbagai bidang dengan permasalahannya yang semakin kompleks. Gereja sepertinya sedang berhadapan dengan tembok tebal yang menjadi penghalang pertumbuhan dan pelayanan ke dunia luar.

A. GEMBALA : PEMIMPIN ATAU PELAYAN ?

Kepemimpinan gembala sangat berpengaruh bagi perkembangan gereja. “Sebuah gereja memerlukan kepemimpinan. Sebuah pelayanan akan bangkit atau jatuh karena kepemimpinannya.” Sebuah pelayanan akan naik atau turun karena pemimpinnya.” “Banyak gereja berhenti bertumbuh secara jumlah pada titik tertentu karena mereka tidak mengembangkan kepemimpinan yang cakap dan cukup untuk melayani anggota-anggota baru.” Dan “kebanyakan pertumbuhan gereja di mulai dengan gembalanya.”

C. Peter Wagner mengemukakan: “ Apabila gereja mau memaksimalkan potensi pertumbuhan, ia memerlukan gembala yang mempunyai sifat-sifat seorang pemimpin yang kuat.” Pokok persoalannya banyak gembala terbentur kepada abiguitas peran gembala: “Pelayan atau pemimpin” , ”Menjadi seorang pelayan dan seorang pemimpin sekaligus”, “Menjadi rendah hati dan berkuasa” Padahal menyimak perkataan Christ Lowley : “Hanya orang yang tahu siapa dirinya dan apa yang diinginkannya dapat mengejarnya dengan penuh semangat dan mengilhami orang lain untuk berbuat begitu.

Gembala pada sisi yang lain merupakan pekerjaan rohani yang berkonotasi sabar, mengalah, dan penuh kasih. Sedangkan kepemimpinan berarti bergerak dalam ketegasan, kedisiplinan, tidak lemah dan mengalah.

Persoalan ini pada satu sisi bagi banyak gembala yang menganggap dirinya pelayan kehilangan “sentuhan“ kepemimpinan, gembala lebih menjadi hamba yang hanya pasrah, mengalah, tidak berorientasi ke depan, tetapi hanya menjalankan rutinitas pelayanan. Otoritas gembala tidak berfungsi, proses perencanaan dan organisasi tidak pernah berjalan dengan baik. Dan bagi mereka yang lebih menekankan kepemimpinan banyak menyerap kepemimpinan sekuler dan kehilangan hati seorang gembala.

B . IDENTITAS KEPEMIMPINAN GEMBALA.

Sadar atau tidak pemahaman tentang “kepemimpinan gembala” di dalam wacana kekristenan mengalami keragaman dan bias. Ini sebenarnya menimbulkan persoalan tersendiri. Pemahaman yang secara mendasar tidak sama selain menimbulkan kesimpangsiuran dan persoalan sistem, hal yang lebih prinsip, kepemimpinan gembala tidak berjalan sesuai tujuannya dan tidak akan pernah maksimal dalam pelaksanaannya.

Petrus A, M.Th melihat ada lima gaya kepemimpinan dalam Perjanjian Baru ; “kepemimpinan yang memampukan, hamba atau pelayan, gembala, teladan, kuasa dan wibawa.” Dalam pembagian tersebut kepemimpinan gembala ditempatkan sebagai salah satu gaya dari gaya yang lain. Petrus A, M.Th tidak melihat bahwa kepemimpinan gembala sebagai suatu metode kepemimpinan yang didalamnya mengandung keempat unsur : memampukan, hamba atau pelayan, teladan, kuasa dan wibawa. Kepemimpinan gembala menurutnya : “Gaya yang menekankan kepedulian atau pemeliharaan dan perlindungan sang gembala terhadap yang digembalakan.”

Dikalangan Gereja-gereja Pentakosta dan Kharismatik, gembala merupakan pemimpin tunggal yang memiliki otoritas penuh atas roda pelayanan gereja. Sedangkan di gereja-gereja protestan, peranan kepemimpinan penggembalaan ada dalam sistim kolektif. Pengelolaan rumah tangga gereja lebih menjadi fungsi penatua atau majelis, gembala terfokus kepada pelayanan rohani.

Dewasa ini yang lebih mengkuatirkan, terdapat kecenderungan bagaimana nilai-nilai kepemimpinan sekuler diadopsi menjadi semangat, isi dan praktek kepemimpinan gembala. Stacy T. Rinehart dalam bukunya ”Upside Down : Paradok Kepemimpinan Pelayan” menguraikan tentang kondisi ini ; Saya tidak berkata bahwa filosofi kepemimpinan sekuler tidak menawarkan manfaat. Tetapi kita tampaknya mengadopsi beberapa filosofi tersebut secara keseluruhan, tanpa kritik yang penting. Doa, analisis yang berasal dari perenungan telah kalah. Kita senantiasa akan mudah dimangsa oleh kecenderungan yang terbaru dan terpopuler jika kita gagal mempertimbangkan model kepemimpinan kita pada tingkat nilai dan asumsi. Ketika kita melihat pada nilai dasar dari “kepemimpinan yang berkuasa” di dalam gereja dan menggoreskannya dengan kuas besar, kita menemukan paling tidak lima hal penggerak nilai yang berakar selama beberapa dasawarsa. Standarisasi, jika rumus pelayanan dan kegiatan diterapkan secara tepat dari satu tempat ke tempat lain, di dalam setiap segi kehidupan, dari tahun ke tahun, maka kesuksesan rohani akan dihasilkan. Konformitas, Tindakan (doing) dipandang lebih penting dalam pelayanan daripada keberadaan (being). Pragmatisme, hal ini berhubungan erat dengan relativisme moral, bahwa keberhasilan menentukan tindakan kita, ketika sesuatu tidak lagi berhasil kita dipaksa untuk menemukan cara lain agar dapat mencapai sasaran. Dengan kata lain, tujuan membenarkan cara, tanpa menghiraukan apakah cara itu benar atau salah. Produktifitas, dalam budaya kita, hal menghasilkan adalah inti permasalahan. Jika Anda tidak menghasilkan, Anda akan diminta untuk menyingkir. Hal ini terjadi dalam dunia bisnis, dan sering kali dalam gereja dan pelayanan kita. Sepanjang pelayanan kita bertumbuh pesat, segala sesuatu tampak berjalan baik. Sentralisasi, kepemimpinan yang berkuasa beranggapan bahwa seseorang harus memegang kendali ; seseorang harus bertanggung jawab terhadap hal yang penting. Sentralisasi beranggapan bahwa seorang pemimpin mengatasnamakan Tuhan dan terdapat orang-orang yang mendukung visi pemimpin dalam mencapai kebutuhan. Mengikuti pemimpin atau organisasi menjadi prinsip dasar kesalehan. Gagal menundukkan diri adalah pemberontakan terhadap Tuhan sendiri !

2.

GEMBALA DALAM PERJANJIAN LAMA

“Gambaran gembala telah terjalin dalam bahasa dan gambar pemikiran Alkitab.” Gembala secara umum menggambarkan manusia yang bekerja menjaga dan memelihara sekelompok hewan. Namun juga dapat diartikan sebagai orang yang mengasuh dan membina manusia.

A. Konteks dan analogi gembala.

“Gembala dalam arti harafiah pada zaman dulu dan sekarang, mengemban panggilan tugas yang banyak tuntutannya – panggilan setua panggilan Habel (Kej.4:2). Dia harus mencari rumput dan air di daerah yang kering dan berbatu-batu (Mzm 23:2), harus melindungi kawanan domba gembalaannya terhadap cuaca buruk dan binatang buas ( Am 3:12), harus mencari dan membawa kembali setiap domba yang sesat ( Yeh 34:8 ).”

Analogi gembala menurut Derek T. Tindball merupakan hal yang wajar dalam dunia Israel. Menurutnya : ” Memang wajar untuk memilih analogi gembala bagi suatu bangsa yang akar budayanya terdapat dalam kehidupan nomadis dan yang pemimpin besarnya Musa ( Yes 63:11) dan Daud ( Maz 78:70-72 ), pernah menjadi gembala. Di tempat lain dalam dunia purba ”gembala” digunakan secara luas sebagai gelar untuk para dewa dan raja. Memerintah adalah menggembalakan umat.”

Menurut pemahaman penulis, analogi gembala sebenarnya semata-mata bukan karena kondisi lingkungan dan karena para pemimpin besarnya pernah menjadi gembala. Lebih prinsip dari itu tanggung jawab gembala terhadap domba-dombanya inilah yang menjadi dasar analogi kepemimpinan gembala yang ada dalam Perjanjian Lama. William Barclay menyatakan : “Mengapa mereka memberi nama gembala itu kepada raja-raja dan menjadikannya simbol dari pemeliharaan ; mengapa Kristus mengambil dia sebagai tipe dari pengorbanan diri sendiri. Kesiap-siagaan yang terus menerus, keberanian yang tidak kenal takut, kasih dan sabar terhadap kawanan dombanya, itulah yang menjadi ciri yang penting dari seorang gembala.”

B. Gembala-gembala Israel

Kepemimpinan gembala dalam Perjanjian Lama terutama terjadi dalam kehidupan Israel sesudah kematian Yosua. “Sesudah kematian Yosua, tidak ada kepemimpinan yang mantap untuk menuntun umat Israel menempuh tahun-tahun yang penuh gejolak. Sekali-kali kepemimpinan muncul dalam bentuk para hakim yang tidak mempunyai tempat permanen dalam pengelolaan bangsa itu.”Akhirnya, Israel mencari kepemimpinan dalam bentuk kerajaan tetapi di samping itu muncul tiga kelompok lain sebagai gembala-gambala Israel yaitu Imam, Nabi, dan orang bijaksana ( Yeremia 18:18).”

Perlu juga diketahui bahwa “ baik sebelum maupun sesudah ketiga kelompok ini menjadi terkemuka, umat Israel sangat menekankan kewajiban pastoral orang tua. Pentingnya orang tua dalam menyediakan pendidikan rohani bagi anak-anak mereka ditekankan beberapa kali dalam Kitab Ulangan 4:9 ;6:7, 20;11:19;31:13 dan 32:46). Tanggung jawab untuk meneruskan iman ditetapkan secara kokoh dalam konteks keluarga dan orang tua tidak diizinkan untuk melepaskannya semata-mata kepada guru agama yang ahli.”

Pada zaman Yeremia, umat itu mengharapkan “ajaran Taurat“ dari para imam. Hal ini “pada dasarnya adalah cara untuk mendapat pengertian tentang kehendak Allah. Sejak awal mereka memikul tanggung jawab untuk menyatakan kehendak Allah (Ulangan 33:8).” “Tugas mereka sehari-hari terdiri atas mempersembahkan korban (Ulangan 33:10), mengucapkan berkat ( Bilangan 6:22-27) dan memelihara kekudusan moral, fisik, dan sosial. Arti penting tugas mereka lebih ditegaskan lagi oleh pengertian akan hakikat Allah yang mereka layani.”

Kelompok gembala kedua ialah para nabi. “Para nabi mempunyai pandangan yang lebih dinamis tentang Allah dibandingkan dengan imam-imam dan menampilkan Dia dengan berbicara mengenai program yang lebih luas sehubungan dengan etika dan moral, firman yang ditujukan kepada situasi sejarah yang khusus saat ini atau masa depan.”

Kelompok gembala yang ketiga adalah orang-orang bijak. “Tujuan orang-orang bijak adalah memberikan nasehat-nasehat praktis, yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari yang tidak kurang pentingya sebagai cara mendidik anak-anak. Mereka tidak berhubungan dengan persoalan-persoalan besar yang menyangkut bangsa-bangsa yang menyita perhatian dan waktu seperti para nabi, demikian juga mereka tidak berusaha mempengaruhi emosi seperti yang dilakukan para nabi.”

Keberadaan dan tugas para gembala Israel ini sebenarnya merupakan bagian dari cara Allah “dalam memelihara umat-Nya, bagaimana Allah menyatakan kasih-Nya dengan perantaraan bermacam-macam saluran. Masing-masing saluran memberikan sumbangan khusus dengan penekanannya yang berbeda pada hukum, firman, dan hikmat dan karena keterbatasannya yang jelas maka semuanya saling membutuhkan dan saling mengisi.”

Hal yang perlu digarisbawahi bahwa “kepemimpinan pastoral di Israel tidak pernah berbentuk monolitis dan statis, Ia selalu beragam dan dengan berlalunya waktu, ia dimodifikasi dan terus demikian hingga menjelang periode munculnya Yudaisme.”

C. Allah sebagai Gembala Israel.

“Di Timur terdapat kebiasaan para gembala untuk memiliki kumpulan domba yang besar, dan yang mengatasi keseluruhan kawanan domba adalah gembala besar. Kemudian, dia akan membawahi beberapa “gembala bawahan.” Hal ini akan diberikan berapa pun banyaknya domba yang dia dapat tangani, dengan demikian dia bertanggung jawab atas domba-domba ini dan bertanggung jawab kepada gembala besar.”

Gembala di atas segala gembala dalam kehidupan Israel sebagai umat Allah adalah Allah sendiri. Alkitab menyatakan bahwa Allah adalah gembala atas umat-Nya. Hubungan Allah dengan umat-Nya secara langsung juga digambarkan sebagai hubungan gembala dengan domba. Alkitab menyatakan tentang hal tersebut :”Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku ( Mzm 23:1).” “Seperti seorang gembala Ia menggembalakan ternak-Nya dan menghimpunkannya dengan tangan-Nya ; anak-anak domba dipangku-Nya, induk-induk dituntun-Nya dengan hati-hati ( Yesaya 40:11).” “….Dia yang telah menyerakkan Israel akan mengumpulkannya kembali, dan menjaganya seperti gembala terhadap kawanan dombanya ! (Yeremia 31:10).” Dan “ayat pertama dalam Alkitab yang menyatakan Allah sebagai gembala dinyatakan oleh Yakub dalam Kejadian 48:15, ketika ia berkata :” Allah itu, sebagai Allah yang telah menjadi gembalaku selama hidupku sampai sekarang.”

Domba adalah binatang yang lemah dan rentan bahaya. Ketika Alkitab menyamakan umat-Nya dengan domba sebenarnya hendak menyatakan bahwa “ketergantungan domba terhadap gembala secara mutlak merupakan alasan mengapa ilustrasi tersebut digunakan untuk menggambarkan hubungan antara orang percaya dengan Tuhan.” Pada sisi yang lain “tugas seorang gembala menuntut tanggung jawab yang besar sehingga ia disamakan oleh masyarakat kuno dengan tugas pemerintahan seorang raja, bahkan dengan tugas pemeliharaan manusia oleh Allah.”

Mazmur 23 memberikan rincian yang sempurna tentang karakteristik Allah sebagai gembala atas umat-Nya. Mazmur 23 juga merupakan tepisan dari anggapan bahwa “Perjanjian Lama hanya menggambarkan Allah dengan kekuatan kuasa-Nya, bukan sebagai seorang Bapa yang penuh kasih sayang dan perhatian seperti yang digambarkan dalam Perjanjian Baru. Tetapi gambaran tentang Yehovah Roi di dalam Mazmur 23:1 menunjukkan Allah sebagai Bapa yang penuh kasih dan selalu memelihara umat-Nya.”

Di dalam Mazmur 23 Allah sebagai gembala mencukupi kebutuhan domba-dombanya. Seperti yang diungkapkan Albert Barnes, bahwa inilah esensi utama dari konsep Allah sebagai gembala : “ This idea enters essentially into the conception of God as the shepherd of his people, that all their real wants shall be supplied.” Dan secara keseluruhan Allah sebagai gembala menyediakan yang terbaik bagi umat-Nya : rumput hijau untuk dimakan membimbing ke air yang tenang, menyegarkan jiwa, menuntun kejalan yang benar, memberi perlindungan dan penghiburan.

3.

GEMBALA SEBAGAI PEMIMPIN ROHANI

George Barna dengan risetnya mengungkapkan :”Kajian-kajian kami menunjukkan bahwa pengertian, penghargaan dan respek bagi setiap hamba Tuhan selamanya rendah sekali. Kepercayaan jemaat pada pendeta sebagai orang yang dapat memahami serta menangani problem-problem dan sekaligus mampu membimbimg mereka secara konsisten sudah menurun selama kurang lebih 15 tahun terakhir. Ini bukan dikarenakan skandal para penginjil televisi. Ini disebabkan tuntutan terhadap hamba Tuhan sudah sangat berbeda dibandingkan dengan 20 atau 25 tahun silam. Pada era itu, kita menganggap gembala adalah orang yang sanggup memberi wawasan teologis dan mengelola pelayanan serta program-program gereja.”

Selanjutnya George Barna menyatakan : “Sekarang, kita dipanggil untuk melayani dalam atmosfer yang jauh lebih modern, laju kecepatannya kencang dan berorientasi pada informasi dan pasar. Atmosfer yang berbeda ini membutuhkan pola berpikir berbeda (atau perspektif berbeda) dan, dalam beberapa segi, serangkaian kecakapan dengan teknik yang berbeda. Gembala perlu memiliki kesehatian, tetapi penerapan yang berbeda.”

Penegasan yang sama juga disampaikan oleh Os Guines : “Memang, ini adalah dunia yang baru secara radikal. Sebuah dunia yang mempunyai lebih banyak implikasi untuk kepemimpinan dan iman daripada yang disadari oleh banyak orang Kristen. Tetapi, ke dalam dunia modern inilah Anda terpanggil untuk menjadi seorang gembala Kristen.”

A. Gembala adalah pemimpin.

Gembala dalam pengertian yang utuh adalah pemimpin, untuk memimpin umat Allah dalam bidang spiritual. “Gembala tidak hanya dipanggil melayani sebuah jemaat tetapi juga diberi tanggungjawab dan otoritas yang sepadan dengan tingkatan itu untuk memimpin.” “Bahwa Allah di dalam kehendak-Nya yang berdaulat, telah menetapkan serta memilih setiap pemimpin Kristen kepada pelayanan memimpin.” C Peter Wagner menegaskan :” Pemimpin dari gereja bertumbuh pada masa ini tidak segan-segan untuk melakukan tugas kepemimpinan mereka.” “ Menunjukkan kita arah yang benar, membuat kita sepakat bahwa kita perlu sampai ke sana, dan menyatukan kita untuk melewati rintangan-rintangan tak terhindarkan yang memisahkan kita dari tanah terjanji.”

Di dunia Perjanjian Lama, meskipun para raja dan pahlawan Israel dalam arti luas disebut sebagai gembala israel, namun secara jelas ada pemimpin-pemimpin rohani yang tidak berurusan dengan politis kenegaraan. Mereka konsisten dalam hal-hal religius umat..

“Latar belakang yang lebih luas menjelaskan bahwa gembala pada dasarnya adalah seorang pemimpin dan untuk menunaikan tugasnya, ia membutuhkan otoritas. Otoritas gembala Israel yang sejati berbeda gayanya dengan penguasa lalim dan pemerintah kafir dari bangsa-bangsa lain. Hal ini menyebabkan adanya keinginan untuk tidak memaksakan persamaan antara keduanya. Meskipun begitu Sang Gembala benar-benar memiliki otoritas yang nyata. Bahkan dalam Mazmur 23, Mazmur yang paling lembut dan menghiburkan, gembala disebut sebagai memiliki tongkat, lambang otoritasnya. Dengan tongkat itu ia akan mendisiplin domba-dombanya dan memeriksa apakah mereka sakit dan juga membela dan melindungi mereka. Tongkat gembala sama dengan tongkat raja. Dasar otoritasnya tidak terletak pada jabatannya, tetapi kepada empati karena domba-dombanya tidak dapat berkomunikasi dengan dia. Karena itu pekerjaan gembala menuntut suatu perpaduan yang halus antara otoritas dan kepedulian. Keduanya harus ada, tetapi barangkali sangat berarti bahwa dalam Perjanjian Lama, gambaran gembala kebanyakannya muncul dalam mazmur-mazmur dan tulisan para nabi pembuangan di mana tema penghiburan dan bukannya kekuasaan sangat menononjol.”

Di dalam Perjanjian Baru gembala diposisikan lebih jelas dan rinci, mereka adalah pemimpin jemaat Allah ( Yohanes 10:24, 1 Petrus 5:2-3). Ibrani 13:17 dengan jelas menegaskan keabsahan pemimpin rohani : “Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atasnya. Dengan jalan itu mereka akan melakukannya dengan gembira, bukan dengan keluh kesah, sebab hal itu tidak akan membawa keuntungan bagimu.”

Peter C. Wagner melalui bukunya “Memimpin Gereja Anda Agar Bertumbuh” memberikan penegasan bahwa gembala adalah pemimpin. Dua kata dalam bahasa Yunani yang sering dipakai untuk menerangkan pemimpin adalah kata untuk penatua, presbuteros, yaitu awal kata kerja presbyterian, sedangkan kata untuk pengawas atau uskup, episkopos, yaitu asal kata gereja Episcopal. Penatua berarti orang yang lebih tua, yang dihormati oleh masyarakat karena kedewasaan dan kebijaksanaannya. Seorang uskup aalah seseorang yang mengawasi gerejanya dan melayani sebagai C.E.O (Chief Executive Officer). Kata gembala atau penggembala adalah poimen, yang juga digunakan di dalam Perjanjian Baru untuk menandakan pertanggungjawaban seorang pemimpin gereja terhadap keadaan rohani kelompok tertentu dari umat Allah. Istilah lain yang digunakan, adalah pemimpin (Roma 12:8), administrator ( I Kor.12:28). Dalam I Petrus 5:1-2, konsep penatua, gembala maupun uskup itu sama dengan pemimpin gereja.

Kepemimpinan gembala merupakan pola kepemimpinan yang memiliki identitas dan jatidiri yang khas. Kepemimpinan yang Allah rancang untuk menjaga dan memelihara umat Allah. Melakukan peran sebagai pelayan dan pemimpin “menggabungkan kerendah-hatian dengan kuasa dan kepelayanan dengan kepemimpinan.”

Pola ini harus dikembangkan dan diterapkan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dalam prosesnya tentu harus berinteraksi dengan prinsip-prinsip kepemimpinan sekuler, dengan manyaringnya sesuai dengan prinsip kepemimpinan gembala.

B. Tanggungjawab adalah dasar utama kepemimpinan gembala.

Gembala berada diantara kemampuan dan kemauan untuk melihat hidup berdasarkan perspektif pengikut. Apa yang menjadi kebutuhan domba-domba, bukan egoisme pribadi.” Memimpin kawanan domba, dan bukan memerintah mereka. Mengasihi kawanan domba, dan bukan memanfaatkan mereka untuk kepentingan Anda, memberikan contoh daripada meminta.” “Di dalam rencana Allah, jemaat” dipercayakan” kepada seorang gembala dan gembala harus “mempertanggung-jawabkan.”

Tanggungjawab merupakan komitmen terdalam dan tertinggi tentang kepemimpinan gembala. “Yehezkiel 34 mengetengahkan manifes Allah yang tidak berubah tentang pelayanan dan berfungsi sebagai panggilan yang mengesankan dan menarik kepada semua gembala untuk memenuhi tugas dan kewajiban mereka dan mempertimbangkan prioritas mereka dalam memberitakan Injil, memulihkan, mengajar, mendorong, dan memberi makan ; semua ini adalah aspek-aspek dari peranan gembala.” Bahwa “Gembala yang baik mempunyai banyak tugas dan tanggungjawab. Tugas dan tanggungjawab gembala yang baik meliputi segala dimensi kehidupan domba-domba baik sendiri maupun kelompok. Hal itu, tidak akan menjadi alasan untuk mengeluh baik pada awal maupun pada akhir penggembalaan-Nya. Dia akan melaksanakan tugas dan tanggungjawab-Nya dengan tekun dan setia dan tanpa pamrih.”

Ukuran tanggung jawab gembala bukan kepada manusia tetapi kepada Allah. Di dalam tanggung jawab tersebut bukan lagi motif dan kepentingan pribadi yang utama tetapi kehidupan umat. Memimpin berarti menjadi pelayan, mempimpin berarti menjadi hamba yang memberikan bahkan mengorbankan dirinya.

C. Bersikap tanggap dan proaktif adalah karakateristik kepemimpinan gembala.

Penggembala ternak dalam menjalankan tugasnya, mereka harus senantiasa waspada, bersikap tanggap terhadap segala kemungkinan yang akan terjadi pada ternak gembalaannya. Demikian juga dengan gembala sebagai pemimpin umat, gembala harus tanggap terhadap apa yang terjadi pada domba-dombanya dan bagaimana lingkungan domba-domba itu hidup.

Dalam kepemimpinan, seorang pemimpin harus “mampu menanggapi masalah atau kesempatan yang tidak terlihat dengan kelenturan dalam memberikan tanggapan dan tidak sekedar memberikan reaksi. Kemampuan seperti itu merupakan hal penting di abad ke-21 ini, di mana dunia di sekitar kita penuh dengan perubahan dan hal-hal yang tidak dapat diduga.”

Jaman terus berubah, kebutuhan dan prilaku manusia juga berubah. Sehingga pengelolaan pelayanan dan penyelesaian berbagai hal juga harus berubah. Os Guines menyatakan : “Sebetulnya, Anda tidak saja menjadi gembala untuk melayani dunia modernitas ini, melainkan juga harus melayani gereja yang telah memasuki modernitas.”

Gereja yang modern adalah gereja yang siap untuk mengalami perubahan sesuai tuntutan jaman.”Keterbukaan terhadap perubahan tidak berarti harus membuang tradisi lama. Keterbukaan boleh diartikan cara baru untuk menjelaskan tradisi-tradisi itu atau memperkenalkan semuanya kepada jemaat.”

Frances Hesselbein dalam bukunya “Menjadi Pemimpin Masa Depan,” mengatakan bahwa untuk menggambarkan seperti apa organisasi kita di masa depan maka harus diajukan pertanyaan-pertanyaan : Apa tuntutan baru yang akan kita hadapi ? Apa yang akan berbeda dari para customer kita ? Siapa yang menjadi customer kita ? Apa yang dapat kita lakukan agar apa yang akan kita lakukan menjadi sesuatu yang beda, dan apa satu-satunya yang harus kita lakukan agar satu hal yang lain terjadi ? Apakah kualitas para pemimpin baru kita sangat cocok dengan visi organisasi kita pada masa depan ? Bagi Frances Hesselbein “konteks dunia di mana kita berkiprah sama pentingnya dengan isi pelayanan yang kita berikan.”

Gereja dengan gembala sebagai pemimpin tidak bisa tidak untuk dapat melayani pada zamannya harus bisa melihat konteks zamannya. Tanpa harus mengingkari prinsip dan konsep penggembalaan yang Allah tetapkan, gereja harus terus tanggap, proaktif untuk lentur dan berinovasi sesuai kebutuhan dan tuntutan zaman.

4. KESIMPULAN

Kepemimpinan gembala dalam PL lebih menunjuk kepada tataran nilai. Bahwa gembala adalah pemimpin rohani yang dipercayakan Allah untuk memimpin umat Allah sesuai rencana dan kehendak-Nya. Dalam proses kepemimpinan tersebut gembala diberi otoritas untuk menggembalakan domba-domba-Nya. Meskipun dalam proses penggembalaan ada polanya, namun nilai-nilai kepemimpinan dan tanggung jawaab kepemimpinannya merupakan pesan utama. Bukan struktur dan sistem organisasi yang menjadi penekanan tetapi lebih kepada nilai, tanggung jawab dan tujuan. Bahwa “shepherd leadership is whole-person leadership. It’s not just a matter of thinking in a certain way or doing things in a certain way. It’s a fully integrated life- a matter of head and hand and heart. We to say that it’s a way of thinking and doing and being.” Dan apa yang dikatakan C. Peter Wagner :” Mengembalikan perannya gembala sebagai pemimpin.” Sebenarnya merupakan pokok pikiran dari pergumulan paper ini. Sekaligus awal dari pergumulan yang tiada akhir dalam meningkatkan pelayanan dan menyikapi perubahan dunia.

Karena bersifat nilai-nilai dasar kepemimpinan yang berpola penggembalaan, maka dalam aplikasi lebih fleksibel. Namun pada sisi yang lain nilai-nilai kepemimpinan gembala harus bersumber kepada Firman Allah, dan pertanggung jawaban kepemimpan langsung kepada Allah. Kepemimpinan gembala adalah pemimpin hamba yang melayani bukan memerintah. Dan pada akhirnya saya ingin mengulang apa yang dikatakan Os Guines, dan ini merupakan harapan kita semua : “ Gembala adalah kunci sebagian besar pengharapan gereja di masa depan.”

Daftar Pustaka

Artikel di Internet

A.M.Th, Petrus, “Kepemimpinan Kristen,” Sinar Harapan 2003 http://www.sinarharapan.co.id/berita/0406/05/fea01.html. diakses 8.Nopember 2007

Hutchcraft, Ron,”Tugas Pemimpin Sejati,” Gema Sion Ministries http://www.akupercaya.com/forum/diskusi-general/522-kepemimpinan-organisme.html. diakses 8 Nopember 2007

Http://media.wiley.com/product_data/excerpt/39/8 diakses November 2007

Sarumaha,OFM,P.MetadiusCap,e-JEMMi39/2005 ttp://misi.sabda.og/artikel_isi.phd

?id=124, diakses 8 Nopember 2007

Ensiklopedi

Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid A-L, R.A Stewart, Gembala ( Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1992) hal.331

Buku-Buku

Barkclay, William. Injil Yohanes Pasal 8-21, Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 2003

Barnes’, Albert .Note on the Bible, Mazmur 23:1-6

Barth, Marie Claire dan B.A Pareira,Tafsiran Kitab Mazmur 1-72.Jakarta :BPK Gunung Mulia, 1999.

Chirs Lowney, Chirs. Heroic Leadership, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Conner, Kevin J. Jemaat Dalam Perjanjian Baru, Malang : Penerbit Gandum Mas, 2004.

Jenson, Ron & Jim Stevens, Dinamika Pertumbuhan Gereja, Malang : Yayasan

Penerbit Gandum Mas, 1998.

London Jr, H.B. Segarkan , Perbaharui dan Hidupkan Kembali, George Barna, Pemimpin,

Visi, dan Keberhasilan ( Jakarta : Harvest Publication House/HPH, 1999

London Jr, H.B. Segarkan , Perbaharui dan Hidupkan Kembali, Os Guines, Menjadi

Gembala di Dunia modern ( Jakarta : Harvest Publication House/HPH, 1999

Rinehart, Stacy T. Upside Down – Paradoks Kepemimpinan Pelayan, Jakarta : Immanuel, 2003

Tindball, Derek T. Teologi Penggembalaan, Malang : Gandum Mas, 1998

Tomatala, Dr.Yakon. Kepemimpinan yang Dinamis, ( Jakarta : YT Leadership Foundation

; Malang, Penertbit Gandum Mas, 1997Bowling, John.G .Kepemimpinan Penuh

Kasih Karunia, Jakarta : Metanoia, 2001.

Towns, Elmer L .Nama-nama Allah, Yogyakarta :Yayasan Andi, 1995.

Wagner, C. Peter . Memimpin Gereja Anda Agar Bertumbuh, Jakarta : Harvest Publication

House, 1995.

Tidak ada komentar: