Minggu, 17 Agustus 2008

Teologi Penyembahan Yohanes 4:24

1.

PENDAHULUAN

Penyembahan merupakan salah satu isu penting di lingkungan gereja dewasa ini. Wacana “penyembahan” menjadi kajian hangat, diantaranya karena pro dan kontra makna dan praktek praktis “penyembahan” dalam liturgi gereja-gereja aliran pietisme. Tidak bisa menutup mata bahwa salah satu pemicu kajian penyembahan menjadi hangat salah satunya karena dipraktekkan oleh gereja-gereja “pietisme” yang belakangan disebut juga oleh Peter Wagner sebagai “apostolik baru” mengalami perkembangan yang pesat.

Kajian pro dan kontra makna dan praktek penyembahan sebenarnya bukan hanya terjadi pada gereja-gereja mainstream dan injili tetapi juga di dalam gereja-gereja “kontemporer “ sendiri. Di dalam gereja-gereja kontemporer sebenarnya juga tidak ada keseragaman dalam memaknai arti penyembahan.

Isu “penyembahan” menjadi begitu penting terutama sekali bila dikaitkan dengan Nats Injil Yohanes 4:24 “…Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran."

Diantara kalangan “Apostolik Baru” ada yang mengartikan menyembah dalam roh dan kebenaran berarti menyembah dengan berbahasa roh. Djohan E. Handoyo salah satu pelopor pujian dan penyembahan di Indonesia menjelaskan :

“Pribadi Allah adalah Roh. Dimensi penyembahan - sebagai komunikasi antara kita dengan Tuhan membutuhkan bahasa roh sebagai penghubungnya.”[1]

Bagi kalangan “mainstream dan Injili “ arti penyembahan bukan hanya dalam liturgi gereja, tetapi pada seluruh aspek. Penyembahan yang benar adalah hidup yang benar sesuai firman Tuhan. Kalau pun penyembahan diartikan dalam liturgi ibadah maka penyembahan itu juga bukan praktek penyemaahan dikalangan pietis. Makna seperti ini diantaranya disampaikan oleh John MacArthur :

“Penyembahan bukanlah masalah berada di tempat yang benar, pada waktu yang tepat. Penyembahan bukanlah kegiatan lahiriah yang menuntut terciptanya suasana tertentu. Penyembahan terjadi di dalam hati, dalam roh.”[2]

“Sifat dasar penyembahan adalah memberikan penyembahan kepada Allah dari bagian diri kita yang paling dalam, dalam pujian, doa, nyanyian, memberi bantuan, dan hidup, selalu berdasarkan kebenaran-Nya yang dinyatakan.”[3]

Asumsi dasar penulisan paper ini adalah bahwa kitab orang Kristen satu. Kitab gereja-gereja Pentakosta, Kharismatik, Apostolik Baru dan Mainstream serta Injili adalah satu, tentu yang menjadi pertanyaan klasik adalah mengapa makna dan praktek “menyembah dalam roh dan kebenaran” dalam Yohanes 4:24 berbeda ?

Karya tulis ini tidak semata-mata membahas mengenai mengapa mereka berbeda dalam memahami “menyembah dalam roh dan kebenaran” tetapi lebih tentang apa sebenarnya makna dan praktek “menyembah dalam roh dan kebenaran”? Tujuannya secara langsung adalah untuk mencari kebenarannya sesuai pesan Alkitab, dan juga tentunya memberikan kontribusi untuk “menjadi pertimbangan” terhadap pemahaman yang berbeda terhadap nats Alkitab tersebut.

2.

Konteks Alkitab

Untuk menemukan makna sebenarnya dari Yohanes 4:24 sehingga terbangun suatu teologi sesuai dengan tema penulisan paper ini, menggali teks Alkitab dalam konteksnya sesuai kaidah penafsiran yang ada adalah suatu kemutlakan.

A. Latar belakang peristiwa.Percakapan Tuhan Yesus dengan perempuan Samaria ( Yohanes 4:1-42) merupakan dialog antara orang Yahudi dengan orang Samaria. Suatu perjumpaan yang tidak lazim bagi orang Yahudi. Orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria. Sebab mereka merupakan “bangsa campuran yang memiliki agama campuran, yang sekalipun demikian menerima Pentateukh dan mengaku menyembah Allah Israel.”[4]

“Dalam naskah Kitab Ulangan yang diterima oleh bangsa Samaria pasal 27:4-5, Yosua diperintahkan mendirikan mezbah di Gunung Gerizim. Nas yang sama, dalam naskah yang diterima oleh umat Yahudi, berkata bahwa mezbah itu harus didirikan di Gunung Ebal, bukan gunung Gerizim. Bangsa Samaria menolak kitab-kitab suci yang lain, selain kelima Kitab Musa, maka mereka tidak menerima II Tawarikh 6:6, yang berkata,” Tetapi kemudian Aku memilih Yerusalem sebagai tempat kediaman nama-Ku dan memilih Daud untuk berkuasa atas umat-Ku Israel.”[5]

Siapa perempuan itu tidak disebutkan secara jelas identitasnya. Ketika Yesus berada di sumur Yakub, Dia meminta air kepada perempuan tersebut. Namun demikian lebih dari sekedar kebutuhan akan air , sama seperti terhadap Nicodemus, Yesus “menunjukkan bahwa perempuan itu mempunyai kebutuhan yang lebih mendalam, yaitu kebutuhan yang dapat dipenuhi oleh Yesus melalui karunia Allah”[6].

Secara moral perempuan Samaria merupakan orang berdosa dengan kehidupan pernikahannya yang tidak benar, dan melalui masalah itu pula Yesus membawa lebih jauh dalam hal keagamaan.

B. Tafsiran Yoh.4 : 20-24

Yoh 4:21 Kata Yesus kepadanya: "Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem.

Yoh 4:22 Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi.

Dave Hagelberg menyatakan bahwa “diantara segala perbedaan yang memisahkan bangsa Yahudi dan bangsa Samaria, tempat orang menyembah, merupakan salah satu yang paling pokok.”[7] Namun “di dalam tatanan baru yang di mulai dengan kedatangan Kristus, tempat penyembahan tidak sepenting Tokoh yang disembah.”[8] FF.Bruce juga menekankan : “The important question is not where people worship God but how they worship him.”[9]

“Tanggapan Tuhan Yesus terdiri dari Tiga bagian. Pertama (ayat 21) Dia memberitakan bahwa sebentar lagi kedua tempat ibadah menjadi usang, kedua (ayat 22) Dia menekankan bahwa keselamatan memang muncul dari umat Yahudi, bukan dari mereka, dan ketiga (ayat 23-24) Dia menjelaskan mengenai sifat keselamatan itu.”[10]

“Hal yang penting ialah bahwa orang menyembah Bapa, yang sudah diberitakan melalui kedatangan Sang Anak. Dengan mempergunakan istilah kamu Yesus mungkin mengantisipasi pertobatan orang-orang Samaria. Ibadah orang Samaria merupakan hal yang kacau (bdg II Raja 17:33). Keselamatan datang dari bangsa Yahudi di dalam arti bahwa penyataan khusus tentang cara mendekati Allah dengan benar disampaikan kepada mereka : dan Yesus sendiri, sang Juruselamat, berasal dari bangsa ini (Roma 9:5). Saatnya… sudah tiba sekarang. Bahkan sebelum sistem keagamaan yang baru diresmikan dengan sifatnya yang universal, para penyembah sejati memperoleh kehormatan untuk menyembah Allah sebagai Bapa di dalam Roh dan kebenaran. Roh tampak menoleh kebelakang, ke Yerusalem, dan penyembahan Yerusalem yang berdasarkan apa yang tersurat (hukum Taurat). Sedangkan kebenaran bertentangan dengan penyembahan orang Samaria yang tidak memadai dan palsu. Cara menyembah yang baru ini merupakan keharusan, sebab Allah itu Roh adanya”.[11]

1. Menyembah dalam roh.

Yoh 4:23 Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian.

Yoh 4:24 Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran."

Bahasa Yunani menyembah “proskuneo – pros-koo-neh-o, memuja, suatu sikap seperti anjing menjilat tuannya.”[12] Suatu hubungan yang dekat, hormat, lembut, taat dan penuh kasih sayang yang harmonis.

“Pengertian Allah itu Roh, bukanlah hal asing dalam pengertian Yudaisme, tetapi Yesus menekankan bahwa penyembahNya-pun harus selaras dengan Yang disembah. Formalitas ibadah keagamaan tidak akan menyentuh apa-apa jika dilakukan tanpa “Roh”.”[13]

Bob Sorge mengemukakan : “Yesus sedang menunjukkan bahwa penyembahan tidak lagi diikat pada waktu atau tempat tertentu ( bukan di Yerusalem, di mana orang-orang Yahudi menyembah ; bukan juga di gunung Gerizim, di mana orang-orang Samaria menyembah) ; melainkan ia akan menjadi suatu pekerjaan roh manusia menggapai Roh Tuhan. Yesus tahu saatnya segera datang yang mana korban-korban hokum Musa di Yerusalem tidak lagi diperlukan, dan penyembahan akan terjadi di dalam rumah Perjanjian Baru – manusia sendiri ( Lihat I Kor.3:16). Penyembahan sekarang dapat terjadi setiap saat, di mana saja orang yang penuh Roh berada.”[14]

Walliam Barclay juga menyatakan :“ Membatasi ibadah kepada Allah hanya di Yerusalem atau tempat-tempat lain yang tertentu saja adalah sama dengan memberi batas kepada Dia yang menurut hakekat-Nya sendiri tidak terbatas.”[15]

2.Menyembah dalam kebenaran.

Menyembah Allah bukan hanya dalam roh tetapi juga dalam kebenaran. “Penekanan "roh" (Yunani, πνευμα – pneuma), harus bersejajar dengan "kebenaran" (Yunani, αληθεια - alêtheia) ini harus dilakukan oleh penyembah-penyembah yang "sejati" (Yunani, αληθινος - alêthinos, Adj).[16]” James Montgomery Boise mengungkapkan : ”For Jesus said that those who acknowledge God’s true worth must do so “in spirit and in truth.” In other wods, they must do so “in truth” because truth has to do with what His nature is, and they must do so “in spirit” because they can only apprehend it spirituality.”[17]

“Dihubungkannya roh dan kebenaran memberi keterangan atas makna “The True worshipers ; mereka ini adalah kelompok orang yang benar-benar berbakti, dan berbeda dengan orang-orang lain yang “nampaknya” saja berbakti dengan melakukan “tingkah laku agamawi” dan “symbol-simbol agamawi.”[18]

Menurut James Montgomery Boice Menyembah dalam kebenaran memiliki tiga arti : “ First, it means that we must approach God truthfully, that is, honestly or wholeheartedly ; Second we must worship on the basis of the biblical revelation ; Finally, to God “in truth” also means that we must approach God Christocentrically. This is means “in Christ,” for this is God’s way of approach to Him.’[19]

3.

Wacana Konsep Teologis Menyembah

Perlu disadari bahwa ada penekanan yang berbeda ketika kita mencoba mengetengahkan kata “menyembah” dikalangan pentakosta dan kharismatik dengan mainstream dan Injili. Agi orang-orang Pentakosta dan kharismatik “penyembahan” berkonotasi pada bagian dari doa pribadi dan liturgi ibadah. Sedangkan bagi denominasi lain tidak seperti itu. Sebab itu untuk memudahkan membangun konsep yang benar perlu mencermati pengertian “menyembah” diantara mereka.

A. Penyembahan sebagai cara hidup.

John MacArthur, Jr meskipun menyinggung penyembahan dalam ibadah gereja, tetapi konsep penyembahannya berbeda dengan kalangan pietis. Pemaparan John MacArthur, Jr lebih mewakili gereja diluar aliran pietis. Ia memberikan pengertian penyembahan sebagai keseluruhan hidup orang percaya : “Pengertian kita tentang penyembahan diperkaya ketika kita memahami bahwa penyembahan sejati menyentuh setiap bidang kehidupan. Kita harus menghargai dan memuja Allah dalam segala hal.”[20] “ Memuji Allah, berbuat baik, dan memberi bantuan kepada orang lain-semua adalah tindak penyembahan yang benar dan alkitabiah.”[21] Rick Warren menegaskan : “ mempersembahkan diri kita kepada Allah itulah yang dimaksud dengan penyembahan.”[22]

John MacArthur, Jr membagi penyembahan dalam tiga dimensi : “Pertama, dapat tercermin dalam bagaimana kita bersikap terhadap orang lain ( Roma 14:18). Penyembahan dapat dinyatakan dengan membagi kasih dengan sesama orang percaya, mengabarkan Injil kepada orang-orang yang tidak percaya, dan memenuhi kebutuhan umat pada tingkat yang sangat jasmani. Kita dapat meringkasnya menjadi satu kata : penyembahan yang berkenan kepada Allah adalah member, yaitu kasih yang membagi ; Kedua, melibatkan tingkah laku pribadi (Efesus 5:8-10). Kata berkenan dalam kalimat ujilah apa yang berkenan kepada Tuhan adalah dari bahasa Yunani yang berarti “dapat diterima”. Dalam konteks ini, ia mengacu kepada kebaikan, keadilan dan kebenaran, yang jelas berarti bahwa berbuat baik adalah tindakan yang dapat diterima sebagai penyembahan kepada Allah ; Ketiga, dimensi ke atas (Ibrani 13:15-16), penyembahan itu adalah Ucapan syukur dan puji-pujian.”[23]

B. Penyembahan dalam pemahaman pietisme.

Meskipun tidak memungkiri bahwa hidup ini merupakan ibadah kepada Allah yang didalamnya kita menyembah Allah, kalangan pietime memiliki kekhususan sendiri tentang arti dan praktek menyembah. Mereka lebih menganggap menyembah itu suatu “momen” berhadapan langsung dengan waktu dan cara tertentu. Penyembahan ini bisa bersifat pribadi ketika bersaat teduh atau doa pribadi dan kelompok (bagian dari liturgi gereja).

Penyembahan bagi kalangan gereja kontemporer lebih merupakan “pemujaan” penuh ekpresi panca indra kepada Allah secara langsung dengan “bermazmur atau berbahasa roh”. Ini tentunya berbeda dengan berdoa dan bernyanyi, bahkan boleh dikatakan perpaduan dari keduanya. Simak apa yang di sampaikan Djohan E.Handoyo :

“ Penyembahan tidak hanya berupa suatu gerakan tubuh atau karya pikiran manusia untuk berserah kepada sesuatu yang lebih besar. Penyembahan adalah menikmati hubungan kita dengan-Nya.”[24]

“Penyembahan adalah ungkapan hati dan penyerahan total kepada Tuhan lebih dari sekedar memuji Tuhan. Kalau pujian adalah suatu ucapan syukur atas segala perbuatan Tuhan, penyembahan adalah pengakuan bahwa saya adalah milik-Nya dan Tuhan dalah milik saya.”[25]

Meskipun pemaparan Djohan E. Handoyo ini tidak menjelaskan secara spisifik tentang penyembahan, namun apa yang dikatakannya cukup memberi gambaran tentang apa itu penyembahan. Bagi kalangan pietis lebih tepat mengatakan seperti apa yang diungkapkan Morris Smith :” Penyembahan yang sejati menyimpang dari definisi ; ia hanya dapat dialami.”[26]

Penyembahan di dalam liturgi ibadah gereja-gereja kontemporer memiliki posisi dan porsi yang penting, sama seperti doa, pujian dan firman Tuhan. Dengan berbagai fariasinya penyembahan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan keagamaan kalangan akar Pentakosta dan Kharismatik.

4.

Memahami Secara Utuh

Menyembah Dalam Roh dan Kebenaran

Secara utuh pembicaraan Tuhan Yesus dengan perempuan Samaria adalah tentang ibadah yang benar kepada Allah. Ibadah itu berhulu kepada kata “menyembah”. Dan konsep teologis penyembahan dalam arti yang luas sebenarnya berkaitan dengan keberadaan orang percaya dihadapan Allah.

Hal utama yang perlu dicermati ketika Yesus memperbincangkan wacana menyembah dalam roh dan kebenaran sebenarnya lebih kepada tatanan makna. Tuhan Yesus lebih mementingkan esensi dari siapa yang disembah dengan cara tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Bukan metodenya tetapi sikapnya yang menjadi titik perhatian-Nya.

Untuk memahami secara utuh tentang konsep teologis menyembah dalam roh dan kebenaran, maka kita harus kembali kepada esensi utamanya dan tidak terjebak kepada hal-hal praktis yang sebenarnya lebih kepada ekspresi.

A. Menyembah : relasi dengan Allah sesuai Firman-Nya.

Hal yang prinsip dalam menterjemahkan menyembah Allah dengan roh dan kebenaran adalah bagaimana kita berelasi dengan Tuhan sesuai dengan Firman-Nya. Mengenal pribadi Allah dengan benar, sesuai dengan apa yang Dia ajarkan.

Bait Allah adalah tempat dimana Allah bersekutu dengan umat-Nya. Konsep bait Allah di dalam Alkitab mengalami perubahan yang revolusioner. Di dalam Perjanjian Lama bait Allah adalah bangunan secara fisik, namun di dalam Perjanjian Baru bait Allah adalah tubuh dan pribadi orang percaya. 1Kor 6:19 : “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?

Secara teologis meskipun mengalami perubahan secara revolosioner namun esensi bait Allah tetap merupakan tempat persekutuan antara Allah dengan umat-Nya. Kemah Suci jaman Musa dibangun sebagai kehendak Allah untuk bersekutu dengan umat-Nya. Keluaran 29:45 :” Aku akan diam di tengah-tengah orang Israel dan Aku akan menjadi Allah mereka. Di dalam persekutuan dengan Allah, umat-Nya harus mempersembahkan tubuhnya sebagai persembahan yang hidup. Rom 12:1 : Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah : itu adalah ibadahmu yang sejati.

Di dalam konteks hidup sebagai persembahan inilah kehadiran Allah nyata di diri umat-Nya dan penyembahan mengalir dari kehidupan umat-Nya. Di dalam makna ini juga penyembahan melibatkan seluruh aspek kehidupan. Walliam Barclay menyatakan : “Kalau Allah itu roh, maka persembahan manusia kepada Allah haruslah juga persembahan roh. Persembahan korban binatang dan barang-barang lain buatan manusia tidaklah cukup. Persembahan yang berkenan kepada hakekat Allah hanya persembahan roh, yaitu kasih, kesetiaan, ketaatan dan penyerahan diri.”[27]

Selanjutnya sebagai bait Allah, Roma 12:1 diikuti Rom 12:2 : “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Sebagai bait Allah orang percaya harus hidup sesuai kehendak Allah : Kebenaran yang Allah berikan melalui fiman-Nya.

B. Menyembah : Ekspresi pengagungan Tuhan.

Relasi dengan Allah secara umum adalah di dalam seluruh aspek kehidupan kita dan secara khusus merupakan persekutuan pribadi dan ibadah di gereja. Ibadah gereja merupakan persekutuan umat dengan Allah. Di dalam ibadahlah umat memuji dan mendengarkan Firman Allah. R.C.Sproul seorang teolog Injili menjelaskan : “Ketika kita beribadah, kita membawa seluruh diri kita ke dalam tindakan berbakti kepada Allah dan berkomunikasi dengan Allah. Ada banyak cara untuk melakukan hal ini. Manusia bukan mahluk yang sederhana, melainkan bersifat kompleks. Jika kita dengan teliti menyelidiki apa yang tertulis di dalam Kitab Suci – bahwa kita harus menyembah Allah dengan seluruh jiwa, dengan seluruh tubuh dan dengan seluruh panca indera kita – kita akan mempunyai suatu pandangan baru tentang beribadah”[28] “Penglihatan, pendengaran, perasaan, sentuhan, penciuman –semuanya tercakup dalam pengalaman manusia. Kita dipengaruhi oleh panca indera dan juga dipengaruhi oleh pikiran. Pikiran kita, tubuh kita, jiwa kita, hati kita-seluruh diri kita harus terlibat di dalam ibadah. Saya yakin bahwa jika kita membuang salah satu segi kemanusiaan kita, berarti kita membuat ibadah kita menjadi miskin.”[29]

Bagi Ron Jenson dan Jim Stevens “Menyembah adalah mengadakan kontak dengan Allah – berdoa kepada Allah, memuji, menyanyi kepada Allah, mengaku di hadapan Allah dan memberi tanggapan kepada Allah sebagaimana Ia telah ditinggikan dan dinyatakan dalam Firman-Nya. Tujuannya adalah untuk memberi sesuatu, bukan untuk menerima sesuatu. Berkat pasti akan datang, karena menerima adalah hasil dari memberi.”[30]

Bagi kalangan pietis apostolik baru, penyembahan merupakan realitas dari pengagungan Tuhan dengan melibatkan seluruh panca indra dan emosi. Bahkan ada yang mengharuskan penyembahan dengan berbahasa roh.

C. Menyembah : relasi dengan intelektual dan ekspresi.

Meskipun tidak memberikan penyelesaian akhir, namun persoalan pokok tentang penyembahan sebenarnya bermuara pada dua kutup “intelektual dan ekspresi”. “Suatu kubu menyatakan bahwa perasaan religious adalah esensi kerohanian sejati. Apa yang Anda percayai atau lakukan tidaklah begitu penting, asalkan kasih Tuhan kepada jiwa Anda bisa Anda rasakan.”[31] Sementara yang lain berpendapat “inti dari kerohanian yang sejati adalah berpikir benar. Para pendukung pandangan ini berpendapat bahwa perasaan tidaklah terlalu penting dibandingkan doktrin dan sikap mental. Menurut mereka, keyakinan yang benar membuat jiwa tetap terikat pada fondasi kebenaran, sementara perasaan sifatnya berubah-ubah dan sering menyeret orang yang tidak tahu pada kesia-siaan.”[32]

Kubu pertama adalah gereja-gereja yang lebih menekankan pengalaman dari pada doktrin. Sedangkan kelompok kedua “lebih bersifat intelektual, kurang menyentuh aspek emosi dan tidak diwarnai antusiasme yang nyata. ”Penyembahan” yang dikenal dikelompok ini adalah menyanyikan lagu-lagu rohani yang membosankan dan dinyanyikan dengan kurang semangat.”[33]

Jonathan Edward tidak menyetujui ekstrim sepihak dari kedua kubu tersebut. “Menurutnya pandangan bahwa kerohanian sejati yang berpusat pada salah satu dari perasaan atau keyakinan adalah menyesatkan. Baik pikiran ataupun hati, keduanya sangat penting dan esensial bagi kerohanian yang sejati, sebab manusia adalah satu kesatuan. Kerohanian melibatkan setiap dimensi dari keberadaan manusia, baik perasaan, pikiran, maupun tindakan. Mempertentangkan antara pikiran dan perasaan, atau antara pikiran dan hati, sama dengan membagi seseorang menjadi seseorang menjadi bagian yang lepas.”[34]

John MacArthur, Jr memberikan kesimpulan yang baik : “Ketulusan, kegairahan, dan sikap agresif penting, tetapi semua itu harus didasarkan kepada kebenaran. Dan kebenaran adalah dasar, tetapi bila tidak menghasilkan hati yang berhasrat, gembira dan bergairah, penyembahan tersebut tidak lengkap.”

Secara pribadi penulis lebih cenderung kepada pemahaman bahwa orang percaya mesti pundasi yang kuat tentang doktrin iman Kristen. Namun pada sisi yang lain tetap bergairah, antusias dan hangat dalam mengekpresikan emosi atau perasaan dalam pengagungan kepada Tuhan. Intelektual tidak dingin, ekpresi tidak antipati terhadap intelektualitas-keduanya saling melengkapi. Namun demikian pada akhirnya memang perlu juga mencamkan apa yang dikatakan oleh Bob Sorge : “Tidak ada satu definisi pun yang tampaknya dapat mengekpresikan secara tepat tentang penyembahan secara lengkap – mungkin karena penyembahan adalah pertemuan Ilahi sehingga kedalamannya tidak sebatas sebagaimana Allah sendiri.”[35]

Rick Warren,Kehidupan yang digerakkan oleh Tuhan. Malang : Penerbit Gandum

Mas,2005.

R.C.Sproul, Menanggapi Allah dalam Ibadah. Malang : Penerbit Gandum Mas, 2002

Ron Jenson dan Jim Stevens, Dinamika Pertumbuhan Gereja. Malang : Penerbit

Gandum Mas,1996.

Wiliam Barlay, Pemahamn Alkitab Setiap Hari. Jakarta : BPK Gunung Mulia,1983



[1] Djohan E. Handoyo, Praise and Worship(Yogyakarta : Penerbit ANDI, 207) hal.50

[2] John MacArthur, Prioritas Utama dalam Penyembahan (Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 1993) hal. 151

[3] Ibid, hal. 162

[4] Charles F. P. Feiffer dan Everett F. Horrison, Tafsiran Alkitab Wycliffe Vol.3 PB , Everett F. Horrison, Yohanes ( Malang :Yayasan Penerbit Gandum Mas, 2001) hal.315

[5] Dave Hagelberg Tafsiran Injil Yohanes Pasal 1-5 (Yogyakarta : Yayasan Andi, 1999)hal.168

[6] Charles F. P. Feiffer dan Everett F. Horrison, Tafsiran Alkitab Wycliffe Vol.3 PB , Everett F. Horrison, Yohanes ( Malang :Yayasan Penerbit Gandum Mas, 2001) hal.315

[7] Dave Hagelberg Tafsiran Injil Yohanes Pasal 1-5 (Yogyakarta : Yayasan Andi, 1999)hal.168

[8] Charles F. P. Feiffer dan Everett F. Horrison, Tafsiran Alkitab Wycliffe Vol.3 PB , Everett F. Horrison, Yohanes ( Malang :Yayasan Penerbit Gandum Mas, 2001) hal. 316

[9] FF.Bruce, The Gospel Of John ( Grand Rapid : William B.Eerdmans Publishing Company,1983).hal.109

[10] Dave Hagelberg Tafsiran Injil Yohanes Pasal 1-5 (Yogyakarta : Yayasan Andi, 1999)hal.169

[11] Charles F. P. Feiffer dan Everett F. Horrison, Tafsiran Alkitab Wycliffe Vol.3 PB , Everett F. Horrison, Yohanes ( Malang :Yayasan Penerbit Gandum Mas, 2001) hal.315-317

[12] Strong”s Hebrew Greek Dictionaries, Joh 4:24, e-Sword

[13] Bagus Pramono,” Yesus dan Perempuan Samaria,” www.sarapanpagi.org; diakses tanggal 23 Junuari 2008; tersedia di www.sarapanpagi.org/yesus-dan-perempuan-samaria-vt465.html

[14] Bob Sorge, Mengungkap Segi-Segi Pujian dan Penyembahan (Yogyakarta :Yayasan ANDI,1991) hal.63

[15] Wiliam Barlay, Pemahamn Alkitab Setiap Hari ( Jakarta : BPK Gunung Mulia,1983), hal.273

[16] Bagus Pramono,” Perempuan Samaria,” www.sarapanpagi.org; diakses tanggal 23 Junuari 2008; tersedia di www.sarapanpagi.org/penyembah sejati vt283.html

[17] James Montgomery Boice, The Gospel of John V 1 (Grand Rapids, Zondervan Publishing House,1981), hal.365

[18] Sarapanpagi,” Penyembah Sejati,” www.sarapanpagi.org; diakses tanggal 23 Januari 2008; tersedia di www.sarapanpagi.org/penyembahsejati-vt283.html

[19] James Montgomery Boice, The Gospel of John V 1 (Grand Rapids, Zondervan Publishing House,1981), hal.368

[20] John MacArthur, Prioritas Utama dalam Penyembahan (Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 1993) hal.29

[21] John MacArthur, Prioritas Utama dalam Penyembahan (Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 1993) hal.29

[22] Rick Warren,Kehidupan yang digerakkan oleh Tuhan (Malang : Penerbit Gandum Mas,2005). Hal.86

-[23] John MacArthur, Prioritas Utama dalam Penyembahan (Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 1993) hal.28-29

[24] Djohan E. Handoyo, Praise and Worship(Yogyakarta : Penerbit ANDI, 207) hal.4

[25] Ibid, hal.4

[26] Bob Sorge mengutip Morris Smith, Mengungkap Segi-Segi Pujian dan Penyembahan (Yogyakarta :Yayasan ANDI,1991) hal.52

[27] Wiliam Barlay, Pemahamn Alkitab Setiap Hari ( Jakarta : BPK Gunung Mulia,1983), hal.273

[28]R.C.Sproul, Menanggapi Allah dalam Ibadah ( Malang : Penerbit Gandum Mas, 2002), hal.550

[29] Ibid, hal.551

[30] Ron Jenson dan Jim Stevens, Dinamika Pertumbuhan Gereja ( Malang : Penerbit Gandum Mas,1996),hal.41

[31] Gerald R.McDermott, Mengenali 12 Tanda Kerohanian Sejati ( Yogyakarta : Yayasan Andi, 1995), hal.31

[32] Gerald R.McDermott, Mengenali 12 Tanda Kerohanian Sejati ( Yogyakarta : Yayasan Andi, 1995), hal.31

[33] Ibid, hal.32

[34] Ibid, hal.33

[35] Bob Sorge, Mengungkap Segi-Segi Pujian dan Penyembahan (Yogyakarta :Yayasan ANDI,1991) hal.51

Kepempimpinan Gembala ?

PENDAHULUAN

Profesionalisme adalah salah satu isu utama dunia modern. Setiap orang dituntut keahlian dalam bidangnya. Kondisi ini terjadi karena pernasalahan dunia semakin kompleks, sehingga kebutuhan akan kualitas adalah hal yang mutlak dan persaingan untuk menjadi yang terbaik tidak bisa dihindarkan. Kualitas berbicara tentang solusi terbaik, persaingan adalah mencari yang terbaik. Orang akan mencari yang terbaik dan yang dianggap tidak baik akan ditinggalkan. Dalam konteks seperti inilah sekarang gereja berada.

Saat ini gereja bukanlah pilihan utama dan satu-satunya. Ada bidang-bidang keahlian yang menyediakan jalan keluar bagi permasalahan manusia : Ilmu medis, psikologi, hukum, sosiologi, manajemen dan berbagai bidang lainnya dengan bermacami sistim serta fasilitas canggih tersedia. Di dunia modern manusia dengan berbagai pengetahuannya dianggap bisa menjawab kebutuhan sendiri. Pendeta bukan lagi dipandang sebagai profesi yang bisa menjawab seluruh persoalan manusia. Bahkan dalam bidang kepemimpinan dengan pola penggembalaan oleh gereja sudah dianggap ketinggalan jaman. Kepemimpinan sekuler dianggap lebih efektif dan efesien dari pada kepemimpinan gereja.

Derek T. Tinball dalam bukunya “Teologi Penggembalaan” mengemukakan bagaimana kepemimpinan gembala saat ini sedang digugat. Beberapa analisa yang dikemukakan Derek T. Tinball:

Pertama, peranan gembala jemaat diganti. Banyak hal yang secara tradisional biasanya dilakukan gembala jemaat sebagai satu- satunya orang yang berpendidikan dalam jemaat sejak lama telah diambil alih oleh profesi-profesi yang lain ; psikiater, dokter, konsultan dll.

Kedua, gambaran penggembalaan sudah dianggap kuno. Memandang pendeta serupa dengan seorang gembala memang masuk akal dalam suatu dunia yang pada dasarnya terdiri atas komunitas-komunitas pedesaan. Namun di dunia yang modern ini analogi domba dan gembala adalah pemandangan yang tidak lazim dan tidak lagi mempunyai arti. Perubahan struktural sosial mempengaruhi kita secara lebih mendalam dari yang kita sadari. Kita memaksakan suatu kerangka rasional dan ilmiah kepada dunia kita dan tidak lagi mendekati persoalan-persoalannya sebagai misteri-misteri besar, tetapi hanya sebagai masalah-masalah yang perlu dipecahkan melalui kemajuan tehnologi.

Ketiga, struktur-struktur penggembalaan dalam gereja telah dianggap ketinggalan jaman. Penyusunan struktur di dalam birokrasi gereja dilihat terlalu sederhana dan umum, sehingga tidak efektif dan menyentuh persoalan yang rumit dan kompleks.

Keempat, jabatan penggembalaan sedang digugat. Gereja sendiri sedang mengalami gejolak perubahan. Dasarwarsa 1960-an membuyarkan pandangan bahwa hal memiliki suatu gelar atau jabatan sudah cukup untuk membuat orang lain menerima apa yang dikatakan tanpa bertanya lagi. Sekarang wewenang harus diperoleh sebagai imbalan dan disahkan oleh pengalaman pribadi dan bukannya sebagai label kelembagaan. Hal ini juga terjadi dalam jabatan gembala.

Kelima, pendekatan penggembalaan dianggap ketinggalan zaman. Sementara sistem kepemimpinan di dunia sekuler terus menerus diperbarui supaya lebih efektif, namun sistem penggembalaan setelah sekian abad usianya secara umum tetaplah sama.

Keenam, batas-batas penggembalaan sedang kabur. Berpangkal dari kesadaran yang semakin besar bahwa Allah tidak dibatasi untuk bekerja di dalam dan melalui gereja saja dan kebenaran tidak ditemukan hanya dalam lingkungan gereja, maka seringkali permasalahan manusia tidak lagi memerlukan pemecahan dari gereja.

Bertitik tolak dari konteks penggembalaan dewasa ini yang dianggap tidak lagi sesuai dengan tuntutan kebutuhan zaman, pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah apa yang sebenarnya terjadi dalam kepemimpinan gembala ? Dimanakah sebenarnya letak permasalahan dalam pola penggembalaan ? Apakah pada metodenya atau karena konsep dan pelaksanaannya yang tidak sesuai dengan apa yang Allah maksudkan ? Sebab, tanpa mengurangi keobyektifan kadar ilmiah dalam penulisan, sebagai asumsi dasar penulis mempunyai keyakinan bahwa bila gereja menjalankan penggembalaan sesuai dengan desain yang Allah maksudkan di dalam Alkitab, maka kepemimpinan gembala tidak pernah usang, melainkan selalu “up to date.”

Melalui paper ini penulis mencoba untuk menggali kembali pada konsep dasar tentang apa yang dikatakan oleh Alkitab tentang kepemimpinan gembala. Secara khusus penulis mencoba kembali kepada Perjanjian Lama, dimana konsep kepemimpinan gembala berawal. Bagaimana Israel hidup dalam pola penggembalaan dan Allah sendiri disebutkan oleh Perjanjian Lama sebagai gembala atas umat-Nya.

1.

PERMASALAHAN KEPEMIMPINAN GEMBALA

Berabad-abad gereja terus sibuk dengan tema-tema teologi Kristen. Seiring dengan perkembangan jaman, dewasa ini gereja mulai meredefinisi kembali tentang arti, fungsi dan identitas kepemimpinan gembala. Tantangan ini bertumpu pada pokok kontekstualisasi pelayanan geraja pada zamannya. Gereja harus melayani manusia yang semakin maju dalam berbagai bidang dengan permasalahannya yang semakin kompleks. Gereja sepertinya sedang berhadapan dengan tembok tebal yang menjadi penghalang pertumbuhan dan pelayanan ke dunia luar.

A. GEMBALA : PEMIMPIN ATAU PELAYAN ?

Kepemimpinan gembala sangat berpengaruh bagi perkembangan gereja. “Sebuah gereja memerlukan kepemimpinan. Sebuah pelayanan akan bangkit atau jatuh karena kepemimpinannya.” Sebuah pelayanan akan naik atau turun karena pemimpinnya.” “Banyak gereja berhenti bertumbuh secara jumlah pada titik tertentu karena mereka tidak mengembangkan kepemimpinan yang cakap dan cukup untuk melayani anggota-anggota baru.” Dan “kebanyakan pertumbuhan gereja di mulai dengan gembalanya.”

C. Peter Wagner mengemukakan: “ Apabila gereja mau memaksimalkan potensi pertumbuhan, ia memerlukan gembala yang mempunyai sifat-sifat seorang pemimpin yang kuat.” Pokok persoalannya banyak gembala terbentur kepada abiguitas peran gembala: “Pelayan atau pemimpin” , ”Menjadi seorang pelayan dan seorang pemimpin sekaligus”, “Menjadi rendah hati dan berkuasa” Padahal menyimak perkataan Christ Lowley : “Hanya orang yang tahu siapa dirinya dan apa yang diinginkannya dapat mengejarnya dengan penuh semangat dan mengilhami orang lain untuk berbuat begitu.

Gembala pada sisi yang lain merupakan pekerjaan rohani yang berkonotasi sabar, mengalah, dan penuh kasih. Sedangkan kepemimpinan berarti bergerak dalam ketegasan, kedisiplinan, tidak lemah dan mengalah.

Persoalan ini pada satu sisi bagi banyak gembala yang menganggap dirinya pelayan kehilangan “sentuhan“ kepemimpinan, gembala lebih menjadi hamba yang hanya pasrah, mengalah, tidak berorientasi ke depan, tetapi hanya menjalankan rutinitas pelayanan. Otoritas gembala tidak berfungsi, proses perencanaan dan organisasi tidak pernah berjalan dengan baik. Dan bagi mereka yang lebih menekankan kepemimpinan banyak menyerap kepemimpinan sekuler dan kehilangan hati seorang gembala.

B . IDENTITAS KEPEMIMPINAN GEMBALA.

Sadar atau tidak pemahaman tentang “kepemimpinan gembala” di dalam wacana kekristenan mengalami keragaman dan bias. Ini sebenarnya menimbulkan persoalan tersendiri. Pemahaman yang secara mendasar tidak sama selain menimbulkan kesimpangsiuran dan persoalan sistem, hal yang lebih prinsip, kepemimpinan gembala tidak berjalan sesuai tujuannya dan tidak akan pernah maksimal dalam pelaksanaannya.

Petrus A, M.Th melihat ada lima gaya kepemimpinan dalam Perjanjian Baru ; “kepemimpinan yang memampukan, hamba atau pelayan, gembala, teladan, kuasa dan wibawa.” Dalam pembagian tersebut kepemimpinan gembala ditempatkan sebagai salah satu gaya dari gaya yang lain. Petrus A, M.Th tidak melihat bahwa kepemimpinan gembala sebagai suatu metode kepemimpinan yang didalamnya mengandung keempat unsur : memampukan, hamba atau pelayan, teladan, kuasa dan wibawa. Kepemimpinan gembala menurutnya : “Gaya yang menekankan kepedulian atau pemeliharaan dan perlindungan sang gembala terhadap yang digembalakan.”

Dikalangan Gereja-gereja Pentakosta dan Kharismatik, gembala merupakan pemimpin tunggal yang memiliki otoritas penuh atas roda pelayanan gereja. Sedangkan di gereja-gereja protestan, peranan kepemimpinan penggembalaan ada dalam sistim kolektif. Pengelolaan rumah tangga gereja lebih menjadi fungsi penatua atau majelis, gembala terfokus kepada pelayanan rohani.

Dewasa ini yang lebih mengkuatirkan, terdapat kecenderungan bagaimana nilai-nilai kepemimpinan sekuler diadopsi menjadi semangat, isi dan praktek kepemimpinan gembala. Stacy T. Rinehart dalam bukunya ”Upside Down : Paradok Kepemimpinan Pelayan” menguraikan tentang kondisi ini ; Saya tidak berkata bahwa filosofi kepemimpinan sekuler tidak menawarkan manfaat. Tetapi kita tampaknya mengadopsi beberapa filosofi tersebut secara keseluruhan, tanpa kritik yang penting. Doa, analisis yang berasal dari perenungan telah kalah. Kita senantiasa akan mudah dimangsa oleh kecenderungan yang terbaru dan terpopuler jika kita gagal mempertimbangkan model kepemimpinan kita pada tingkat nilai dan asumsi. Ketika kita melihat pada nilai dasar dari “kepemimpinan yang berkuasa” di dalam gereja dan menggoreskannya dengan kuas besar, kita menemukan paling tidak lima hal penggerak nilai yang berakar selama beberapa dasawarsa. Standarisasi, jika rumus pelayanan dan kegiatan diterapkan secara tepat dari satu tempat ke tempat lain, di dalam setiap segi kehidupan, dari tahun ke tahun, maka kesuksesan rohani akan dihasilkan. Konformitas, Tindakan (doing) dipandang lebih penting dalam pelayanan daripada keberadaan (being). Pragmatisme, hal ini berhubungan erat dengan relativisme moral, bahwa keberhasilan menentukan tindakan kita, ketika sesuatu tidak lagi berhasil kita dipaksa untuk menemukan cara lain agar dapat mencapai sasaran. Dengan kata lain, tujuan membenarkan cara, tanpa menghiraukan apakah cara itu benar atau salah. Produktifitas, dalam budaya kita, hal menghasilkan adalah inti permasalahan. Jika Anda tidak menghasilkan, Anda akan diminta untuk menyingkir. Hal ini terjadi dalam dunia bisnis, dan sering kali dalam gereja dan pelayanan kita. Sepanjang pelayanan kita bertumbuh pesat, segala sesuatu tampak berjalan baik. Sentralisasi, kepemimpinan yang berkuasa beranggapan bahwa seseorang harus memegang kendali ; seseorang harus bertanggung jawab terhadap hal yang penting. Sentralisasi beranggapan bahwa seorang pemimpin mengatasnamakan Tuhan dan terdapat orang-orang yang mendukung visi pemimpin dalam mencapai kebutuhan. Mengikuti pemimpin atau organisasi menjadi prinsip dasar kesalehan. Gagal menundukkan diri adalah pemberontakan terhadap Tuhan sendiri !

2.

GEMBALA DALAM PERJANJIAN LAMA

“Gambaran gembala telah terjalin dalam bahasa dan gambar pemikiran Alkitab.” Gembala secara umum menggambarkan manusia yang bekerja menjaga dan memelihara sekelompok hewan. Namun juga dapat diartikan sebagai orang yang mengasuh dan membina manusia.

A. Konteks dan analogi gembala.

“Gembala dalam arti harafiah pada zaman dulu dan sekarang, mengemban panggilan tugas yang banyak tuntutannya – panggilan setua panggilan Habel (Kej.4:2). Dia harus mencari rumput dan air di daerah yang kering dan berbatu-batu (Mzm 23:2), harus melindungi kawanan domba gembalaannya terhadap cuaca buruk dan binatang buas ( Am 3:12), harus mencari dan membawa kembali setiap domba yang sesat ( Yeh 34:8 ).”

Analogi gembala menurut Derek T. Tindball merupakan hal yang wajar dalam dunia Israel. Menurutnya : ” Memang wajar untuk memilih analogi gembala bagi suatu bangsa yang akar budayanya terdapat dalam kehidupan nomadis dan yang pemimpin besarnya Musa ( Yes 63:11) dan Daud ( Maz 78:70-72 ), pernah menjadi gembala. Di tempat lain dalam dunia purba ”gembala” digunakan secara luas sebagai gelar untuk para dewa dan raja. Memerintah adalah menggembalakan umat.”

Menurut pemahaman penulis, analogi gembala sebenarnya semata-mata bukan karena kondisi lingkungan dan karena para pemimpin besarnya pernah menjadi gembala. Lebih prinsip dari itu tanggung jawab gembala terhadap domba-dombanya inilah yang menjadi dasar analogi kepemimpinan gembala yang ada dalam Perjanjian Lama. William Barclay menyatakan : “Mengapa mereka memberi nama gembala itu kepada raja-raja dan menjadikannya simbol dari pemeliharaan ; mengapa Kristus mengambil dia sebagai tipe dari pengorbanan diri sendiri. Kesiap-siagaan yang terus menerus, keberanian yang tidak kenal takut, kasih dan sabar terhadap kawanan dombanya, itulah yang menjadi ciri yang penting dari seorang gembala.”

B. Gembala-gembala Israel

Kepemimpinan gembala dalam Perjanjian Lama terutama terjadi dalam kehidupan Israel sesudah kematian Yosua. “Sesudah kematian Yosua, tidak ada kepemimpinan yang mantap untuk menuntun umat Israel menempuh tahun-tahun yang penuh gejolak. Sekali-kali kepemimpinan muncul dalam bentuk para hakim yang tidak mempunyai tempat permanen dalam pengelolaan bangsa itu.”Akhirnya, Israel mencari kepemimpinan dalam bentuk kerajaan tetapi di samping itu muncul tiga kelompok lain sebagai gembala-gambala Israel yaitu Imam, Nabi, dan orang bijaksana ( Yeremia 18:18).”

Perlu juga diketahui bahwa “ baik sebelum maupun sesudah ketiga kelompok ini menjadi terkemuka, umat Israel sangat menekankan kewajiban pastoral orang tua. Pentingnya orang tua dalam menyediakan pendidikan rohani bagi anak-anak mereka ditekankan beberapa kali dalam Kitab Ulangan 4:9 ;6:7, 20;11:19;31:13 dan 32:46). Tanggung jawab untuk meneruskan iman ditetapkan secara kokoh dalam konteks keluarga dan orang tua tidak diizinkan untuk melepaskannya semata-mata kepada guru agama yang ahli.”

Pada zaman Yeremia, umat itu mengharapkan “ajaran Taurat“ dari para imam. Hal ini “pada dasarnya adalah cara untuk mendapat pengertian tentang kehendak Allah. Sejak awal mereka memikul tanggung jawab untuk menyatakan kehendak Allah (Ulangan 33:8).” “Tugas mereka sehari-hari terdiri atas mempersembahkan korban (Ulangan 33:10), mengucapkan berkat ( Bilangan 6:22-27) dan memelihara kekudusan moral, fisik, dan sosial. Arti penting tugas mereka lebih ditegaskan lagi oleh pengertian akan hakikat Allah yang mereka layani.”

Kelompok gembala kedua ialah para nabi. “Para nabi mempunyai pandangan yang lebih dinamis tentang Allah dibandingkan dengan imam-imam dan menampilkan Dia dengan berbicara mengenai program yang lebih luas sehubungan dengan etika dan moral, firman yang ditujukan kepada situasi sejarah yang khusus saat ini atau masa depan.”

Kelompok gembala yang ketiga adalah orang-orang bijak. “Tujuan orang-orang bijak adalah memberikan nasehat-nasehat praktis, yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari yang tidak kurang pentingya sebagai cara mendidik anak-anak. Mereka tidak berhubungan dengan persoalan-persoalan besar yang menyangkut bangsa-bangsa yang menyita perhatian dan waktu seperti para nabi, demikian juga mereka tidak berusaha mempengaruhi emosi seperti yang dilakukan para nabi.”

Keberadaan dan tugas para gembala Israel ini sebenarnya merupakan bagian dari cara Allah “dalam memelihara umat-Nya, bagaimana Allah menyatakan kasih-Nya dengan perantaraan bermacam-macam saluran. Masing-masing saluran memberikan sumbangan khusus dengan penekanannya yang berbeda pada hukum, firman, dan hikmat dan karena keterbatasannya yang jelas maka semuanya saling membutuhkan dan saling mengisi.”

Hal yang perlu digarisbawahi bahwa “kepemimpinan pastoral di Israel tidak pernah berbentuk monolitis dan statis, Ia selalu beragam dan dengan berlalunya waktu, ia dimodifikasi dan terus demikian hingga menjelang periode munculnya Yudaisme.”

C. Allah sebagai Gembala Israel.

“Di Timur terdapat kebiasaan para gembala untuk memiliki kumpulan domba yang besar, dan yang mengatasi keseluruhan kawanan domba adalah gembala besar. Kemudian, dia akan membawahi beberapa “gembala bawahan.” Hal ini akan diberikan berapa pun banyaknya domba yang dia dapat tangani, dengan demikian dia bertanggung jawab atas domba-domba ini dan bertanggung jawab kepada gembala besar.”

Gembala di atas segala gembala dalam kehidupan Israel sebagai umat Allah adalah Allah sendiri. Alkitab menyatakan bahwa Allah adalah gembala atas umat-Nya. Hubungan Allah dengan umat-Nya secara langsung juga digambarkan sebagai hubungan gembala dengan domba. Alkitab menyatakan tentang hal tersebut :”Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku ( Mzm 23:1).” “Seperti seorang gembala Ia menggembalakan ternak-Nya dan menghimpunkannya dengan tangan-Nya ; anak-anak domba dipangku-Nya, induk-induk dituntun-Nya dengan hati-hati ( Yesaya 40:11).” “….Dia yang telah menyerakkan Israel akan mengumpulkannya kembali, dan menjaganya seperti gembala terhadap kawanan dombanya ! (Yeremia 31:10).” Dan “ayat pertama dalam Alkitab yang menyatakan Allah sebagai gembala dinyatakan oleh Yakub dalam Kejadian 48:15, ketika ia berkata :” Allah itu, sebagai Allah yang telah menjadi gembalaku selama hidupku sampai sekarang.”

Domba adalah binatang yang lemah dan rentan bahaya. Ketika Alkitab menyamakan umat-Nya dengan domba sebenarnya hendak menyatakan bahwa “ketergantungan domba terhadap gembala secara mutlak merupakan alasan mengapa ilustrasi tersebut digunakan untuk menggambarkan hubungan antara orang percaya dengan Tuhan.” Pada sisi yang lain “tugas seorang gembala menuntut tanggung jawab yang besar sehingga ia disamakan oleh masyarakat kuno dengan tugas pemerintahan seorang raja, bahkan dengan tugas pemeliharaan manusia oleh Allah.”

Mazmur 23 memberikan rincian yang sempurna tentang karakteristik Allah sebagai gembala atas umat-Nya. Mazmur 23 juga merupakan tepisan dari anggapan bahwa “Perjanjian Lama hanya menggambarkan Allah dengan kekuatan kuasa-Nya, bukan sebagai seorang Bapa yang penuh kasih sayang dan perhatian seperti yang digambarkan dalam Perjanjian Baru. Tetapi gambaran tentang Yehovah Roi di dalam Mazmur 23:1 menunjukkan Allah sebagai Bapa yang penuh kasih dan selalu memelihara umat-Nya.”

Di dalam Mazmur 23 Allah sebagai gembala mencukupi kebutuhan domba-dombanya. Seperti yang diungkapkan Albert Barnes, bahwa inilah esensi utama dari konsep Allah sebagai gembala : “ This idea enters essentially into the conception of God as the shepherd of his people, that all their real wants shall be supplied.” Dan secara keseluruhan Allah sebagai gembala menyediakan yang terbaik bagi umat-Nya : rumput hijau untuk dimakan membimbing ke air yang tenang, menyegarkan jiwa, menuntun kejalan yang benar, memberi perlindungan dan penghiburan.

3.

GEMBALA SEBAGAI PEMIMPIN ROHANI

George Barna dengan risetnya mengungkapkan :”Kajian-kajian kami menunjukkan bahwa pengertian, penghargaan dan respek bagi setiap hamba Tuhan selamanya rendah sekali. Kepercayaan jemaat pada pendeta sebagai orang yang dapat memahami serta menangani problem-problem dan sekaligus mampu membimbimg mereka secara konsisten sudah menurun selama kurang lebih 15 tahun terakhir. Ini bukan dikarenakan skandal para penginjil televisi. Ini disebabkan tuntutan terhadap hamba Tuhan sudah sangat berbeda dibandingkan dengan 20 atau 25 tahun silam. Pada era itu, kita menganggap gembala adalah orang yang sanggup memberi wawasan teologis dan mengelola pelayanan serta program-program gereja.”

Selanjutnya George Barna menyatakan : “Sekarang, kita dipanggil untuk melayani dalam atmosfer yang jauh lebih modern, laju kecepatannya kencang dan berorientasi pada informasi dan pasar. Atmosfer yang berbeda ini membutuhkan pola berpikir berbeda (atau perspektif berbeda) dan, dalam beberapa segi, serangkaian kecakapan dengan teknik yang berbeda. Gembala perlu memiliki kesehatian, tetapi penerapan yang berbeda.”

Penegasan yang sama juga disampaikan oleh Os Guines : “Memang, ini adalah dunia yang baru secara radikal. Sebuah dunia yang mempunyai lebih banyak implikasi untuk kepemimpinan dan iman daripada yang disadari oleh banyak orang Kristen. Tetapi, ke dalam dunia modern inilah Anda terpanggil untuk menjadi seorang gembala Kristen.”

A. Gembala adalah pemimpin.

Gembala dalam pengertian yang utuh adalah pemimpin, untuk memimpin umat Allah dalam bidang spiritual. “Gembala tidak hanya dipanggil melayani sebuah jemaat tetapi juga diberi tanggungjawab dan otoritas yang sepadan dengan tingkatan itu untuk memimpin.” “Bahwa Allah di dalam kehendak-Nya yang berdaulat, telah menetapkan serta memilih setiap pemimpin Kristen kepada pelayanan memimpin.” C Peter Wagner menegaskan :” Pemimpin dari gereja bertumbuh pada masa ini tidak segan-segan untuk melakukan tugas kepemimpinan mereka.” “ Menunjukkan kita arah yang benar, membuat kita sepakat bahwa kita perlu sampai ke sana, dan menyatukan kita untuk melewati rintangan-rintangan tak terhindarkan yang memisahkan kita dari tanah terjanji.”

Di dunia Perjanjian Lama, meskipun para raja dan pahlawan Israel dalam arti luas disebut sebagai gembala israel, namun secara jelas ada pemimpin-pemimpin rohani yang tidak berurusan dengan politis kenegaraan. Mereka konsisten dalam hal-hal religius umat..

“Latar belakang yang lebih luas menjelaskan bahwa gembala pada dasarnya adalah seorang pemimpin dan untuk menunaikan tugasnya, ia membutuhkan otoritas. Otoritas gembala Israel yang sejati berbeda gayanya dengan penguasa lalim dan pemerintah kafir dari bangsa-bangsa lain. Hal ini menyebabkan adanya keinginan untuk tidak memaksakan persamaan antara keduanya. Meskipun begitu Sang Gembala benar-benar memiliki otoritas yang nyata. Bahkan dalam Mazmur 23, Mazmur yang paling lembut dan menghiburkan, gembala disebut sebagai memiliki tongkat, lambang otoritasnya. Dengan tongkat itu ia akan mendisiplin domba-dombanya dan memeriksa apakah mereka sakit dan juga membela dan melindungi mereka. Tongkat gembala sama dengan tongkat raja. Dasar otoritasnya tidak terletak pada jabatannya, tetapi kepada empati karena domba-dombanya tidak dapat berkomunikasi dengan dia. Karena itu pekerjaan gembala menuntut suatu perpaduan yang halus antara otoritas dan kepedulian. Keduanya harus ada, tetapi barangkali sangat berarti bahwa dalam Perjanjian Lama, gambaran gembala kebanyakannya muncul dalam mazmur-mazmur dan tulisan para nabi pembuangan di mana tema penghiburan dan bukannya kekuasaan sangat menononjol.”

Di dalam Perjanjian Baru gembala diposisikan lebih jelas dan rinci, mereka adalah pemimpin jemaat Allah ( Yohanes 10:24, 1 Petrus 5:2-3). Ibrani 13:17 dengan jelas menegaskan keabsahan pemimpin rohani : “Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atasnya. Dengan jalan itu mereka akan melakukannya dengan gembira, bukan dengan keluh kesah, sebab hal itu tidak akan membawa keuntungan bagimu.”

Peter C. Wagner melalui bukunya “Memimpin Gereja Anda Agar Bertumbuh” memberikan penegasan bahwa gembala adalah pemimpin. Dua kata dalam bahasa Yunani yang sering dipakai untuk menerangkan pemimpin adalah kata untuk penatua, presbuteros, yaitu awal kata kerja presbyterian, sedangkan kata untuk pengawas atau uskup, episkopos, yaitu asal kata gereja Episcopal. Penatua berarti orang yang lebih tua, yang dihormati oleh masyarakat karena kedewasaan dan kebijaksanaannya. Seorang uskup aalah seseorang yang mengawasi gerejanya dan melayani sebagai C.E.O (Chief Executive Officer). Kata gembala atau penggembala adalah poimen, yang juga digunakan di dalam Perjanjian Baru untuk menandakan pertanggungjawaban seorang pemimpin gereja terhadap keadaan rohani kelompok tertentu dari umat Allah. Istilah lain yang digunakan, adalah pemimpin (Roma 12:8), administrator ( I Kor.12:28). Dalam I Petrus 5:1-2, konsep penatua, gembala maupun uskup itu sama dengan pemimpin gereja.

Kepemimpinan gembala merupakan pola kepemimpinan yang memiliki identitas dan jatidiri yang khas. Kepemimpinan yang Allah rancang untuk menjaga dan memelihara umat Allah. Melakukan peran sebagai pelayan dan pemimpin “menggabungkan kerendah-hatian dengan kuasa dan kepelayanan dengan kepemimpinan.”

Pola ini harus dikembangkan dan diterapkan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dalam prosesnya tentu harus berinteraksi dengan prinsip-prinsip kepemimpinan sekuler, dengan manyaringnya sesuai dengan prinsip kepemimpinan gembala.

B. Tanggungjawab adalah dasar utama kepemimpinan gembala.

Gembala berada diantara kemampuan dan kemauan untuk melihat hidup berdasarkan perspektif pengikut. Apa yang menjadi kebutuhan domba-domba, bukan egoisme pribadi.” Memimpin kawanan domba, dan bukan memerintah mereka. Mengasihi kawanan domba, dan bukan memanfaatkan mereka untuk kepentingan Anda, memberikan contoh daripada meminta.” “Di dalam rencana Allah, jemaat” dipercayakan” kepada seorang gembala dan gembala harus “mempertanggung-jawabkan.”

Tanggungjawab merupakan komitmen terdalam dan tertinggi tentang kepemimpinan gembala. “Yehezkiel 34 mengetengahkan manifes Allah yang tidak berubah tentang pelayanan dan berfungsi sebagai panggilan yang mengesankan dan menarik kepada semua gembala untuk memenuhi tugas dan kewajiban mereka dan mempertimbangkan prioritas mereka dalam memberitakan Injil, memulihkan, mengajar, mendorong, dan memberi makan ; semua ini adalah aspek-aspek dari peranan gembala.” Bahwa “Gembala yang baik mempunyai banyak tugas dan tanggungjawab. Tugas dan tanggungjawab gembala yang baik meliputi segala dimensi kehidupan domba-domba baik sendiri maupun kelompok. Hal itu, tidak akan menjadi alasan untuk mengeluh baik pada awal maupun pada akhir penggembalaan-Nya. Dia akan melaksanakan tugas dan tanggungjawab-Nya dengan tekun dan setia dan tanpa pamrih.”

Ukuran tanggung jawab gembala bukan kepada manusia tetapi kepada Allah. Di dalam tanggung jawab tersebut bukan lagi motif dan kepentingan pribadi yang utama tetapi kehidupan umat. Memimpin berarti menjadi pelayan, mempimpin berarti menjadi hamba yang memberikan bahkan mengorbankan dirinya.

C. Bersikap tanggap dan proaktif adalah karakateristik kepemimpinan gembala.

Penggembala ternak dalam menjalankan tugasnya, mereka harus senantiasa waspada, bersikap tanggap terhadap segala kemungkinan yang akan terjadi pada ternak gembalaannya. Demikian juga dengan gembala sebagai pemimpin umat, gembala harus tanggap terhadap apa yang terjadi pada domba-dombanya dan bagaimana lingkungan domba-domba itu hidup.

Dalam kepemimpinan, seorang pemimpin harus “mampu menanggapi masalah atau kesempatan yang tidak terlihat dengan kelenturan dalam memberikan tanggapan dan tidak sekedar memberikan reaksi. Kemampuan seperti itu merupakan hal penting di abad ke-21 ini, di mana dunia di sekitar kita penuh dengan perubahan dan hal-hal yang tidak dapat diduga.”

Jaman terus berubah, kebutuhan dan prilaku manusia juga berubah. Sehingga pengelolaan pelayanan dan penyelesaian berbagai hal juga harus berubah. Os Guines menyatakan : “Sebetulnya, Anda tidak saja menjadi gembala untuk melayani dunia modernitas ini, melainkan juga harus melayani gereja yang telah memasuki modernitas.”

Gereja yang modern adalah gereja yang siap untuk mengalami perubahan sesuai tuntutan jaman.”Keterbukaan terhadap perubahan tidak berarti harus membuang tradisi lama. Keterbukaan boleh diartikan cara baru untuk menjelaskan tradisi-tradisi itu atau memperkenalkan semuanya kepada jemaat.”

Frances Hesselbein dalam bukunya “Menjadi Pemimpin Masa Depan,” mengatakan bahwa untuk menggambarkan seperti apa organisasi kita di masa depan maka harus diajukan pertanyaan-pertanyaan : Apa tuntutan baru yang akan kita hadapi ? Apa yang akan berbeda dari para customer kita ? Siapa yang menjadi customer kita ? Apa yang dapat kita lakukan agar apa yang akan kita lakukan menjadi sesuatu yang beda, dan apa satu-satunya yang harus kita lakukan agar satu hal yang lain terjadi ? Apakah kualitas para pemimpin baru kita sangat cocok dengan visi organisasi kita pada masa depan ? Bagi Frances Hesselbein “konteks dunia di mana kita berkiprah sama pentingnya dengan isi pelayanan yang kita berikan.”

Gereja dengan gembala sebagai pemimpin tidak bisa tidak untuk dapat melayani pada zamannya harus bisa melihat konteks zamannya. Tanpa harus mengingkari prinsip dan konsep penggembalaan yang Allah tetapkan, gereja harus terus tanggap, proaktif untuk lentur dan berinovasi sesuai kebutuhan dan tuntutan zaman.

4. KESIMPULAN

Kepemimpinan gembala dalam PL lebih menunjuk kepada tataran nilai. Bahwa gembala adalah pemimpin rohani yang dipercayakan Allah untuk memimpin umat Allah sesuai rencana dan kehendak-Nya. Dalam proses kepemimpinan tersebut gembala diberi otoritas untuk menggembalakan domba-domba-Nya. Meskipun dalam proses penggembalaan ada polanya, namun nilai-nilai kepemimpinan dan tanggung jawaab kepemimpinannya merupakan pesan utama. Bukan struktur dan sistem organisasi yang menjadi penekanan tetapi lebih kepada nilai, tanggung jawab dan tujuan. Bahwa “shepherd leadership is whole-person leadership. It’s not just a matter of thinking in a certain way or doing things in a certain way. It’s a fully integrated life- a matter of head and hand and heart. We to say that it’s a way of thinking and doing and being.” Dan apa yang dikatakan C. Peter Wagner :” Mengembalikan perannya gembala sebagai pemimpin.” Sebenarnya merupakan pokok pikiran dari pergumulan paper ini. Sekaligus awal dari pergumulan yang tiada akhir dalam meningkatkan pelayanan dan menyikapi perubahan dunia.

Karena bersifat nilai-nilai dasar kepemimpinan yang berpola penggembalaan, maka dalam aplikasi lebih fleksibel. Namun pada sisi yang lain nilai-nilai kepemimpinan gembala harus bersumber kepada Firman Allah, dan pertanggung jawaban kepemimpan langsung kepada Allah. Kepemimpinan gembala adalah pemimpin hamba yang melayani bukan memerintah. Dan pada akhirnya saya ingin mengulang apa yang dikatakan Os Guines, dan ini merupakan harapan kita semua : “ Gembala adalah kunci sebagian besar pengharapan gereja di masa depan.”

Daftar Pustaka

Artikel di Internet

A.M.Th, Petrus, “Kepemimpinan Kristen,” Sinar Harapan 2003 http://www.sinarharapan.co.id/berita/0406/05/fea01.html. diakses 8.Nopember 2007

Hutchcraft, Ron,”Tugas Pemimpin Sejati,” Gema Sion Ministries http://www.akupercaya.com/forum/diskusi-general/522-kepemimpinan-organisme.html. diakses 8 Nopember 2007

Http://media.wiley.com/product_data/excerpt/39/8 diakses November 2007

Sarumaha,OFM,P.MetadiusCap,e-JEMMi39/2005 ttp://misi.sabda.og/artikel_isi.phd

?id=124, diakses 8 Nopember 2007

Ensiklopedi

Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid A-L, R.A Stewart, Gembala ( Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1992) hal.331

Buku-Buku

Barkclay, William. Injil Yohanes Pasal 8-21, Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 2003

Barnes’, Albert .Note on the Bible, Mazmur 23:1-6

Barth, Marie Claire dan B.A Pareira,Tafsiran Kitab Mazmur 1-72.Jakarta :BPK Gunung Mulia, 1999.

Chirs Lowney, Chirs. Heroic Leadership, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Conner, Kevin J. Jemaat Dalam Perjanjian Baru, Malang : Penerbit Gandum Mas, 2004.

Jenson, Ron & Jim Stevens, Dinamika Pertumbuhan Gereja, Malang : Yayasan

Penerbit Gandum Mas, 1998.

London Jr, H.B. Segarkan , Perbaharui dan Hidupkan Kembali, George Barna, Pemimpin,

Visi, dan Keberhasilan ( Jakarta : Harvest Publication House/HPH, 1999

London Jr, H.B. Segarkan , Perbaharui dan Hidupkan Kembali, Os Guines, Menjadi

Gembala di Dunia modern ( Jakarta : Harvest Publication House/HPH, 1999

Rinehart, Stacy T. Upside Down – Paradoks Kepemimpinan Pelayan, Jakarta : Immanuel, 2003

Tindball, Derek T. Teologi Penggembalaan, Malang : Gandum Mas, 1998

Tomatala, Dr.Yakon. Kepemimpinan yang Dinamis, ( Jakarta : YT Leadership Foundation

; Malang, Penertbit Gandum Mas, 1997Bowling, John.G .Kepemimpinan Penuh

Kasih Karunia, Jakarta : Metanoia, 2001.

Towns, Elmer L .Nama-nama Allah, Yogyakarta :Yayasan Andi, 1995.

Wagner, C. Peter . Memimpin Gereja Anda Agar Bertumbuh, Jakarta : Harvest Publication

House, 1995.