Sabtu, 13 September 2008
INTEGRASI TEOLOGI DAN PSIKOLOGI DALAM PROSES KONSELING KRISTEN
Seiring perkembangan peradaban manusia, berbagai aspek kehidupan manusia : pola hidup, budaya, perspektif, nilai, makna, masalah dan penyelesaiannya juga terus mengalami pergeseran dan perubahan. Dunia modern yang membanggakan rasio dengan IPTEK yang dianggap sebagai karya terbesar ternyata bukanlah tataran terakhir dari peradapan. IPTEK sebagai hasil dari optimalisasi intelektual, pada sisi yang lain sebenarnya menyadarkan manusia sendiri bahwa rasio bukanlah satu-satunya solusi tunggal.
Apa yang dewasa ini disebut posmo (posmodernisme), membuktikan tentang ruang lingkup dan keterbatasan dunia modern. Manusia tidak bisa hanya mengandalkan rasio, tetapi juga emosi dan intuisi. Stanley J. Grenz mengungkapkan :
“Pemahaman modern menghubungkan kebenaran dengan rasio dan logika menjadi tolak-ukur kebenaran. Kaum postmodern meragukan konsep kebenaran universal yang dibuktikan melalui usaha-usaha rasio. Mereka tidak mau menjadikan rasio sebagai tolak-ukur kebenaran. Postmodern mencari sesuatu yang lebih tinggi daripada rasio. Mereka menemukan cara-cara non-rasional untuk mencari pengetahuan, yaitu : melalui emosi dan intuisi.”
Lebih jauh dalam dunia posmo juga disadari akan pentingnya kehidupan komunitas sebagai dasar pemahaman bersama. “Karena setiap orang selalu termasuk dalam konteks komunitas tertentu, maka memahami kebenaran haruslah bersama-sama. Keyakinan dan pemahaman kita akan kebenaran, berakar kepada komunitas dimana kita berada. Mereka menolak konsep pencerahan yang universal, suprakultur, dan permanen. Mereka lebih suka melihat kebenaran sebagai ekspresi dari komunitas tertentu. Mereka yakin bahwa kebenaran adalah aturan-aturan dasar yang bertujuan bagi kesejahteraan diri dan komunitas bersama-sama.”
Apa yang menjadi nilai-nilai terakhir dalam pergumulan dunia saat ini sebenarnya merupakan aktualisasi dari berbagai kompleksitas permasalahan manusia yang tidak bisa dijawab secara parsial, baik oleh rasio maupun IPTEK. Bahwa pemahaman secara holistik dianggap cara terbaik dalam menyelesaikan berbagai hal. Saat ini tidak ada yang tunggal dan mutlak, tidak ada aspek kehidupan yang bisa berdiri sendiri tanpa kontribusi aspek-aspek lainnya. Manusia sadar akan kebutuhan holistik terhadap dirinya sendiri maupun dunia secara luas.
Kesadaran holistik juga dirasakan dalam tataran teologi. Sebagai bidang pengetahuan tentang ketuhanan yang berada ditengah-tengah atau sekeliling bidang-bidang pengetahuan lainnya. Dalam menjalankan tugas keilmuannya, khususnya sesuai tema penulisan ini, teologi tidak bisa berdiri sendiri, harus juga melihat dan menghampiri bidang lainnya.
Psikologi adalah salah satu bidang ilmu yang dalam kriteria tertentu memilki ruang lingkup dan tujuan yang sama untuk saling melengkapi. Namun demikian perlu diperhatikan pertanyaan-pertanyaan berikut ini : “apakah kita diijinkan untuk menarik dari teori dan prosedur-prosedur psikologis sekuler ? Apakah diijinkan bagi pemikiran konselor Kristen untuk dibentuk atau dalam cara tertentu untuk dipengaruhi oleh karya dari para ahli psikologi yang belum percaya ? Dan bagaimana seorang Kristen berhadapan dengan kedudukan seperti ini ? Apakah para ahli psikologi menawarkan pandangan-pandangan yang sahih, yang dapat dimanfaatkan oleh orang Kristen, atau apakah mereka tidak dapat diterima dalam semua bagian ?”
Bagian 1.
INTEGRASI TEOLOGI DAN PSIKOLOGI
Secara fundamental pengintegrasian teologi dengan psikologi merupakan suatu usaha untuk memperbaiki manusia. Masing-masing disiplin berkepentingan untuk membangun diri dan saling membutuhkan. Seperti dikatakan oleh Dr. Don Welch :
“Theology is our understanding of who God is and “the methodical explanation of the contents of the Christian faith. And understanding of God derived through the revealed Word of God and through God’s actions by Holy Spirit. Therefore, a healthy understanding of the human experience can only be understood by articulating clearly who God is and who we are in him. Psyhology, on the other hand, is a scientific approach to understanding humankind. It seeks to understand what makes people feel, think, and behave in certain ways. Answers to psychological questins are found through the five senses or emperical evidence and are analyzed using rational thought.”
A. Suatu Usaha Membuka Diri untuk Saling Melengkapi.
Psikologi pada dirinya sendiri bukanlah tanpa masalah. ”Catatan keberhasilan para psikolog dan psikiater tidaklah membenarkan keyakinan bahwa terapi profesional yang terjangkau dan tersedia bagi semua orang merupakan jawabannya.” Pada waktu yang sama “meningkatnya masalah-masalah pribadi dan timbulnya kekecewaan akan usaha-usaha profesional untuk mengatasi masalah-masalah tersebut telah menghasilkan suatu keterbukaan terhadap pendekatan-pendekatan lain.” ”Optimisme humanistis bahwa manusia mampu menyelesaikan masalah-masalahnya telah runtuh di bawah tekanan ketidakmampuan ilmu pengetahuan untuk secara jelas menyatakan bahwa setiap gagasan adalah benar.”
Pada bidang yang lain pendekatan Kristiani terhadap manusia dengan segala permasalahannya lebih hanya berdasarkan vonis dosa dan dentaman palu pertobatan. Padahal seperti diungkapkan Larry Crabb :
”Tidaklah cukup untuk mengatakan kepada orang yang berdosa bahwa ia harus mengakui dosa-dosanya kepada Kristus dan berhenti dari hidup dalam dosa. Pendekatan seperti itu hanyalah memperkenalkan kekristenan sebagai sesuatu yang menekan dan bukannya membebaskan, suatu sistem yang tidak peka terhadap peraturan-peraturan yang sulit untuk dipenuhi.”
“Teologi berbicara tentang manusia seutuhnya, hidup berkenan kepada Allah dengan tujuan manusia menjadi baik. Sedangkan psikologi secara khusus mempelajari tingkah laku manusia. Dalam psikologi selalu ada aplikasi secara praktis bagaimana menolong orang supaya lebih baik.” Sehingga menurut Yakub B, Susabda : ”Kebutuhan untuk memikirkan integrasi teologi dan psikologi oleh karena kedua bidang pengetahuan ini saling mendekat, dan kita percaya bahwa kebenaran yang lebih besar itu lebih baik.”
John D. Carter dan Bruce Narramore dalam bukunya “The Integration of Psychology And Theology” memberikan alasan mengapa psikologi dan teologi bisa dan harus diintegrasikan :
1. The belief that all truth is God’s truth. If God is the author of all truth, we need not afraid to examine what might appear to be competing truth claims. If God is author of all truth, we are not dealing with ultimately different sources of truth ; 2. Both psychology and theology offer a great deal toward an understanding of human race. In this sense, they are both anthropologies. And while God has choses to reveal truths of auto mechanics or denistry through Scripture. He certainly has revealed a vast amount of truth about the nature and functioning of the human personality ; 3. In this task of exercising dominion over the rest of creation, the church in every age has encountered new problems and gained new understanding. While we believe that scriptural revelation is complete and final, our understanding of theology is continually developing ; 4. We realize that to many idea that the study of psychology has anything significant to offer to Christianity is highly debatable issue ; 5. However, the many problem and limitations of psychology must not blind us to the value of an ongoing study on human behavior.
B. Integrasi Merupakan Kebutuhan Mendasar.
Maurice Wiles dalam bukunya “The Psychology of Religius an Introduction” menyatakan : “ The theologian cannot ignore the finding of the natural scientist because in elucidating the natur of the world we inhabit the scientist is elucidating the nature of what is part of the theologian’s sibject matter.” Disinilah sebenarnya sumbangsih psikologi bagi teologi “the work of psychologists and sosiologist, he adds, offers a perspective on human live which is of the utmost importance for theologian grasp. Its bearing on theology may be indirect, but it is also very profound.” Bahwa analisis psikologis sagat penting dalam memperdalam dan mempertajam pemahaman terhadap motivasi, prilaku, koqnitif, emosi, gangguan-gangguan dan kebutuhan-kebutuhan jiwa manusia lainnya.
Malcolm A. Jeeves dan R.J. Berry menguraikan beberapa hal penting tentang sumbangan psikologi dalam analisanya mengenai manusia untuk proses integrasi :
1. Basic sensory processes whereby we gather information from the world we live ini : the senses of sight, hearing, taste, touch, smell ; 2. The way in which we process information gathered through the senses ; 3. Basic processes of conditioning and learning : which ini turn are complemented by ; 4. A large efoort investigating how we store the information so acquired, in other words the study of memory ; the latter also required us to devote considerable energies to ; 5. Understanding how we retrieve stored information and access to it as and when we need it. And then there is the futher area, greatly influenced today by artificial intelligence and computer studies, of : 6. Our attempts to understand complex processing, traditionally described as thinking. Even when such information enquiry has been gathered there remain ; 7. A large area of psychological equiry which devotes it self to understanding how we organize and processed information from out environment. The final ingredient is ; 8. Understanding the basic processes of emotion and motivation.
Hal yang sama juga terjadi pada psikologi sendiri “psychology certainly has relevance for moral theology, which examines the relation of Christian and other beliefs to moral and religius problem, for docmatic theology, which is concerned with the doctrines and authotities that form the basis for the religious beliefs and opinions of individuals, for natural theology, with its interest in religious experience and actions, and practical or pastoral theology, which examines the interaction between belief and behavior in religious formation and adult life.”
L.B. Brown menguraikan tentang perhatian religius kepada manusia dalam proses integrasi :
1. The behaviour or practices that express a religious stance, assessed commonly through the frequency of church-going, bible reading and so on ; 2. Relious thinking and belief. Religious beliefs are usually defined with reference to the general or particular doctrines of a recognized tradition, but they can uniquely categorized and integrated by any believer. Second-order beliefs about the ways in which religious beliefs are to be derived and tested may be a further importand aspect of them as are religious attitudes ; 3. Religious feelings or experience, and awareness of the transcendent that can validate and personally express a religious position ; 4. Involvement with a religiously defined group or institution sanctions an indetity and forms attitudes and values, as well as beliefs. A direct, but social attachments and reference group functions can also be observed, or reported about by those involved ;5. A religious oriented may have consequential effects on non religious behaviors, beliefs and attitudes, and moral behavior.
Bagi Arthur Holmes ada dua jalan supaya kedua disiplin ilmu tersebut bisa mengalami keharmonisan :
First, religion and science both use models to explain reality. A model is a picture, analogy, or small copy of something that is too complicated to grasp directly. A second thing that Holmes points out about the relationship between science and religion is that the conflict is not ultimately over empirical facts, important as these are, but between these are a priori principles or assumptions upon which the facts and models are built.
Namun demikian perlu diperhatikan bahwa “pada dasarnya integrasi bukan masalah mempersekutukan teologi dan psikologi yang relevan. Pekerjaan utama dalam integrasi adalah menyaring konsep-konsep sekuler melalui saringan ajaran Alkitab ; kemudian kita dapat mempersekutukan konsep-konsep itu yang melewati masalah teologis yang sesuai dan mencoba untuk mengasimilasikan mereka ke dalam suatu kebutuhan yang komprehensif.”
C. Area Integrasi.
Mengutip penjelasan S.Jones dalam bukunya Relating the Christianity Faith to Psychology, Stanton L. Jones dan Richard E. Butman membagi tiga karakteristik integrasi teologi dan psikologi :
1. Ethical Integration, the application of religious moral principles to the practice of science (in this case, to the field of psychotherapy) ; 2. Perspectival Integration, the view that scientific and relegious views of any aspect of reality are independent, with the result that scientific/psychological views and religiuos understanding complement but don’t really affect each other, or ; 3.Humanizer or Christianizer of Science Integration, an appoach that involves the expicit incorporation of religiuosly based beliefs as the control belief that shape the perceptions of fact, theories and methods ini social science.
Pada awalnya memang kebutuhan akan integrasi teologi dan psikologi lebih dikarenakan akan adanya kebutuhan yang lebih efektif dalam usahanya menolong manusia. Berdasarkan premise “All truth is God’s truth” maka proses integrasi ini adalah proses yang saling membutuhkan dan melengkapi. Namun demikian kedepannya, proses integrasi tidak hanya ingin mendapatkan keabsahan-keabsahan dan keefektifan dalam tugasnya menolong manusia secara praktis. Lebih jauh dari itu proses ini menghasilkan suatu pribadi yang holistik, hidup dan berpikir secara integratif. Pola pikir, sikap hidup, pelaksanaan praktis dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dipertanggung jawabkan secara vertikal maupun horisontal.
Tujuan akhir dalam proses integrasi dua bidang ilmu yang berbeda ini “bukan sekedar perpaduan antara bidang teologi dan psikologi, melainkan “mind,” pribadi dan kehidupan yang integratif. Pikiran yang integratif merupakan wujud dari orang yang berpikir dari berbagai komponen supaya ada gambaran secara keseluruhan.”
Bagian 2.
KONSELING KRISTEN SEBAGAI HASIL INTEGRASI
A. Konseling Alkitabiah.
Titik tolak konseling Kristen bersumber dari Alkitab, namun Alkitab saja tidak cukup menjadi petunjuk dalam konseling, Lawrence J. Crabb dalam bukunya “Understanding People” memberikan beberapa alasan :
1. The Bible does not direcly answer every legitimate conseling question. It is therefore necessary and right to turn the data and theories of psychology for help. God never planned to write a comprehensive quide for counseling any more than He set out to instuct plumber how to unclocg a sink. The Bible with psychological problems deals with spiritual matters. Plumbers are concerdned with sinks, dentist with teeth, and counselors with psychological problem. 2. The bible direcly answer every legitimate question about life and is therefore a sufficient guide for counseling. There must be another strategy for handling Scripture if there idea of biblical sufficiency is accurate. Because the bible claims to be the word of life, we should be able to find within its pages all that is needed to counsel effectively. And we must find that information without stretching text to allow interpretations that siply aren, there.
Sehingga konseling Kristen “harus mengembangkan pendekatan alkitabiah yang kuat untuk konseling yang diambil dari psikologi sekuler tanpa menyimpang dari dasar pemikiran Alkitab. Pendekatan yang secara realistis menghadapi dalamnya ( dan tidak begitu dalamnya ) masalah-masalah orang dengan jujur mengevaluasi keberhasilannya dalam mengatasi masalah-masalah tersebut.” “ Pengharapan alkitabiah tidak pernah merupakan suatu usaha yang tidak masuk akal untuk mengabaikan kesimpulan-kesimpulan pemikiran. Sebaliknya lebih merupakan seperangkat kebenaran-kebenaran yang pasti, komunikatif dan proporsional, yang berakar dalam kelahiran, kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus dan berhubungan secara rasional dan logis dengan masalah dosa yang obyektif.”
Sedangkan melakukan konseling hanya berdasarkan psikologi sekuler semata berarti “melakukan konseling dalam suatu cara yang sesuai dengan ketidakpercayaan kepada Allah hal ini berarti melakukan konseling dalam suatu cara yang sesuai dengan kepercayaan kepada kemungkinan dan tidak lebih dari itu.” Dengan masuknya teologi telah memberi warna tersendiri dalam konseling.
“ What makes Christian pastoral counseling unique is that fact that without arogance but also without apology the work of counselors is based on the attempt to understand both themselves and their counseless in light of the God who is Creator, Redeemer and Life Giver and thus the answer to questions about the ultimate origin, meaning and goal of life which lie behind all other problems and questions.”
Keunikan ini bukan hanya sekedar merupakan integrasi dua disiplin yang berbeda melahirkan disiplin baru dengan struktur baru, lebih dari itu konseling Kristen telah hidup dengan roh baru yang mampu menjawab kebutuhan manusia secara mendasar.
Kalau tugas dari nature konseling sekuler adalah memperdamaikan manusia dengan dirinya sendiri, kini dengan masuknya teologi mengubah arah konseling untuk “ helping a person increase his ability to love God, hid neighbour, and himself more fully.”
Tujuan dari konseling Kristen sesungguhnya adalah membawa manusia kepada pemulihan manusia seutuhnya. Demikian pula dengan konseling yang mengintegrasi teologi dan psikologi. “The specialists integrate Christian theology and psychologi tehnique and help their clients with both spiritual and emotional growth.”
B. Esensi Integrasi dalam Konseling.
Ada tiga esensi dari integrasi teologi dan psikologi dalam couseling :
“ An essential part of integration is the counsellors’ own being- their spiritual growth and personal integrity ; An essential part of integration then, is to examine our own spirituality, our own relationship with God and others, with the purpose of growing in grace-into the maturity of Christ ; A third essential part of integration is the counsellors’ belief system-their worldview. This relates more to the integration of their counseling training, their understanding of the theoretical framework of what they have learned and how this fits together with their Christian belief system. As counselling practices are grounded in psychological theory and our Christian beliefs fit into out own personal or denominational theology, this aspect of integration is a complex combining of psychology and theology to form our worldview. Our worldview beliefs themselves will dictate how we negotiate the integration of these complex sets of ideas.”
Supaya setiap orang yang ingin bekerja menuju integrasi yang benar-benar injili antara kekristenan dan psikologi, Dr. Larry Crabb mengusulkan bahwa ia harus memenuhi persyaratan-persyaratan :
1. Ia akan setuju bahwa psikologi harus berada di bawah ajaran Alkitab ; 2. Ia harus dengan bersemangat bersikeras bahwa Alkitab adalah pengungkapan Allah yang tidak dapat salah, diilhamkan, tidak menyeleweng dalam bentuk proposional ; 3. Ia harus setuju bahwa ajaran Alkitab harus memiliki “kontrol fungsional” yang menguasai pemikirannya ; 4. Agar dapat mencapai kontrol fungsional seperti itu dari ajaran Alkitab dan mengatasi pendekatan pada psikologi, para ahli integrasi harus membuktikan minat yang serius dalam isi ajran Alkitab.
C. Integrasi dalam Konseling Praktis
Halangan proses integrasi psikologi dan teologi terjadi bila dalam praktek pelayanan konseling yang dilakukan oleh gereja, ternyata hanya mengedepankan nature konseling dengan psikologi sekuler sesuai dengan apa yang menjadi konsep Freud dan Carl Rogers
“1. The Goal of the pastor-counselor was no longer simply to lead people to accept God’s forgiveness of their sins. Instead, the goal was to relax the strictness of these harsh superegos. 2. Rogers in his writings reflect a strong rejection of the idea that humanity is basically sinful. Instead he focuses on the innate tendency toward growth and actualization. Given a healty environment, people will throw of their negative reactions and develop into healthy, fully functioning persons.”
Bagi konselor Kristen untuk mengintegrasikan teologi dan psikologi dalam counseling praktis harus memperhatikan dua hal penting :
“1. When psychologists without theological training attempt to do integration, they often minimize the importance of doctrine, psychologize Christian beliefs, and overlook the historical and sociological contex of today’s psychology ; 2. When theologians without psychological training attempt to do integration, they often misrepresent the nuances of psychological science and misunderstand the complexities of clinical aplications.” ”In this context integration refers to the ways in which christians draw on their professional training as counsellors and weave that together with their Christian faith. There are therefore issues of worldview (ways of knowing, morality and values) ; of counseling theory as well as counseling practice. For integration to have occurred counsellors must have worked through how to combine both their counseling training and their faith. Completing training is psychology but then practising from a purely nouthetic counselling model (for example) is not integration. Nor is leaving spirituality for church on Sunday and practising behaviourist psychology on Monday. True integration involves an examination of underlying philosophical beliefs, an investigation to clarify a conceptual position which is not implicitly contradictory, but which also holds the paradoxes of real life.”
Menurut Dr. Larry Crabb : “Banyak orang Kristen yang melakukan konseling percaya bahwa pada saat itu baik perasaan maupun perilaku harus dengan tegas diidentifikasi sebagai dosa.” “Konseling, dalam pandangan ini, menjadi suatu dorongan untuk mengaku, bertobat dan berubah. Perubahan dipandang bergantung pada pembaruan tingkah laku.” “ Terdapat kesulitan dalam pandangan mengenai konseling yang terbatas seperti itu. Tentu Klien dapat mengaku, bertobat dan secara langsung bertanggung jawab melakukan perubahan. Di hadapan Tuhan mereka wajib melakukannya. Kesulitan dengan pendekatan ini muncul ketika seseorang menyadari bahwa perasaan berdosa dan perilaku berdosa seseorang menyingkapkan sesuatu yang khusus mengenai sifat dosanya yang jika tidak ditantang dapat menyebabkan masalah lebih lanjut di kemudian hari.”
Memang “pemahaman akan kenyataan dosa merupakan titik awal yang sangat dibutuhkan bagi pemahaman pandangan kristiani tentang semua hal lainnya. Namun psikologi yang pantas disebut “Kristen” tidak boleh menempatkan masalah dosa dalam garis yang sejajar dengan masalah-masalah lain atau mendefinisikannya kembali dalam suatu neurosis ataupun keanehan psikologis.” “Jikalau kita hendak memahami permasalahan manusia, kita harus melihat di balik gejala-gejala yang ada pada kebutuhan-kebutuhan pribadi yang nyata dari ciptaan yang dibuat segambar dengan Allah.” “Bahwa dosa dimulai dalam dunia pikiran. Keyakinan mendasari perasaan dan perilaku. Jikalau perasaan dan perilakunya berdosa, keyakinan yang berada dibaliknya pastilah salah.” Sebab itu perlu digali pemikiran dan keyakinan yang ada kemudian dibenarkan, diluruskan dalam terang kebenaran Firman Tuhan.
KESIMPULAN.
Pelayanan konseling sebagai bagian dari pelayanan gereja sangat penting artinya bagi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan, mental dan kerohanian jemaat. Namun seringkali pelayanan yang ada tidak memiliki kaidah-kaidah yang sesuai dengan tuntutan konseling. Bahkan dalam arti tertentu kadang-kadang konseling tidak ada bedanya dengan khotbah.
Dalam beberapa level awal para konselor diperhadapkan kepada penguasaan tehnik konseling dan isi dari konseling tersebut. Namun dalam tingkatan yang lebih efektif pengkajian tentang konseling tidak terbatas pada level tersebut. Kini konseling yang efektif tidak hanya soal tehnik dan isi yang sebagian besar dari sisi teologis atau pun psikologis semata. Tantangan sekarang adalah bagaimana dalam proses konseling, konselor memiliki “mind” yang integral antara tehnik, teologi dan psikologi.
Integrasi psikologi dan teologi meskipun cukup lama digagas oleh ahli-ahli tertentu namun lembaga-lembaga pendidikan teologi belum lama untuk mengembangkannya, apalagi dalam tataran praktis di gereja. Akan tetapi dewasa ini kebutuhan integrasi ini dirasa sangat mendesak.
Dengan adanya kompleksitas permasalahan dalam jemaat dam manusia secara umum, Integrasi teologi dan psikologi terasa sangat mendasar. Walaupun tentunya hal ini tidaklah mudah, sebab diperlukan 2 keahlian bidang yang berbeda.
Dengan mengembangkan integrasi kedua bidang yang berbeda ini, gereja dapat lebih jauh dan utuh dalam melayani umat Allah. Dan ini pun tentunya tidak sampai disitu. Kedepan, akan lahir jemaat Allah atau manusia manusia yang lebih bertanggung jawab dalam kehidupannya.
Minggu, 17 Agustus 2008
Teologi Penyembahan Yohanes 4:24
PENDAHULUAN
Penyembahan merupakan salah satu isu penting di lingkungan gereja dewasa ini. Wacana “penyembahan” menjadi kajian hangat, diantaranya karena pro dan kontra makna dan praktek praktis “penyembahan” dalam liturgi gereja-gereja aliran pietisme. Tidak bisa menutup mata bahwa salah satu pemicu kajian penyembahan menjadi hangat salah satunya karena dipraktekkan oleh gereja-gereja “pietisme” yang belakangan disebut juga oleh Peter Wagner sebagai “apostolik baru” mengalami perkembangan yang pesat.
Kajian pro dan kontra makna dan praktek penyembahan sebenarnya bukan hanya terjadi pada gereja-gereja mainstream dan injili tetapi juga di dalam gereja-gereja “kontemporer “ sendiri. Di dalam gereja-gereja kontemporer sebenarnya juga tidak ada keseragaman dalam memaknai arti penyembahan.
Isu “penyembahan” menjadi begitu penting terutama sekali bila dikaitkan dengan Nats Injil Yohanes 4:24 “…Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran."
Diantara kalangan “Apostolik Baru” ada yang mengartikan menyembah dalam roh dan kebenaran berarti menyembah dengan berbahasa roh. Djohan E. Handoyo salah satu pelopor pujian dan penyembahan di Indonesia menjelaskan :
“Pribadi Allah adalah Roh. Dimensi penyembahan - sebagai komunikasi antara kita dengan Tuhan membutuhkan bahasa roh sebagai penghubungnya.”[1]
Bagi kalangan “mainstream dan Injili “ arti penyembahan bukan hanya dalam liturgi gereja, tetapi pada seluruh aspek. Penyembahan yang benar adalah hidup yang benar sesuai firman Tuhan. Kalau pun penyembahan diartikan dalam liturgi ibadah maka penyembahan itu juga bukan praktek penyemaahan dikalangan pietis. Makna seperti ini diantaranya disampaikan oleh John MacArthur :
“Penyembahan bukanlah masalah berada di tempat yang benar, pada waktu yang tepat. Penyembahan bukanlah kegiatan lahiriah yang menuntut terciptanya suasana tertentu. Penyembahan terjadi di dalam hati, dalam roh.”[2]
“Sifat dasar penyembahan adalah memberikan penyembahan kepada Allah dari bagian diri kita yang paling dalam, dalam pujian, doa, nyanyian, memberi bantuan, dan hidup, selalu berdasarkan kebenaran-Nya yang dinyatakan.”[3]
Asumsi dasar penulisan paper ini adalah bahwa kitab orang Kristen satu. Kitab gereja-gereja Pentakosta, Kharismatik, Apostolik Baru dan Mainstream serta Injili adalah satu, tentu yang menjadi pertanyaan klasik adalah mengapa makna dan praktek “menyembah dalam roh dan kebenaran” dalam Yohanes 4:24 berbeda ?
Karya tulis ini tidak semata-mata membahas mengenai mengapa mereka berbeda dalam memahami “menyembah dalam roh dan kebenaran” tetapi lebih tentang apa sebenarnya makna dan praktek “menyembah dalam roh dan kebenaran”? Tujuannya secara langsung adalah untuk mencari kebenarannya sesuai pesan Alkitab, dan juga tentunya memberikan kontribusi untuk “menjadi pertimbangan” terhadap pemahaman yang berbeda terhadap nats Alkitab tersebut.
2.
Konteks Alkitab
Untuk menemukan makna sebenarnya dari Yohanes 4:24 sehingga terbangun suatu teologi sesuai dengan tema penulisan paper ini, menggali teks Alkitab dalam konteksnya sesuai kaidah penafsiran yang ada adalah suatu kemutlakan.
A. Latar belakang peristiwa.Percakapan Tuhan Yesus dengan perempuan Samaria ( Yohanes 4:1-42) merupakan dialog antara orang Yahudi dengan orang Samaria. Suatu perjumpaan yang tidak lazim bagi orang Yahudi. Orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria. Sebab mereka merupakan “bangsa campuran yang memiliki agama campuran, yang sekalipun demikian menerima Pentateukh dan mengaku menyembah Allah Israel.”[4]
“Dalam naskah Kitab Ulangan yang diterima oleh bangsa Samaria pasal 27:4-5, Yosua diperintahkan mendirikan mezbah di Gunung Gerizim. Nas yang sama, dalam naskah yang diterima oleh umat Yahudi, berkata bahwa mezbah itu harus didirikan di Gunung Ebal, bukan gunung Gerizim. Bangsa Samaria menolak kitab-kitab suci yang lain, selain kelima Kitab Musa, maka mereka tidak menerima II Tawarikh 6:6, yang berkata,” Tetapi kemudian Aku memilih Yerusalem sebagai tempat kediaman nama-Ku dan memilih Daud untuk berkuasa atas umat-Ku Israel.”[5]
Siapa perempuan itu tidak disebutkan secara jelas identitasnya. Ketika Yesus berada di sumur Yakub, Dia meminta air kepada perempuan tersebut. Namun demikian lebih dari sekedar kebutuhan akan air , sama seperti terhadap Nicodemus, Yesus “menunjukkan bahwa perempuan itu mempunyai kebutuhan yang lebih mendalam, yaitu kebutuhan yang dapat dipenuhi oleh Yesus melalui karunia Allah”[6].
Secara moral perempuan Samaria merupakan orang berdosa dengan kehidupan pernikahannya yang tidak benar, dan melalui masalah itu pula Yesus membawa lebih jauh dalam hal keagamaan.
B. Tafsiran Yoh.4 : 20-24
Yoh 4:21 Kata Yesus kepadanya: "Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem.
Yoh 4:22 Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi.
Dave Hagelberg menyatakan bahwa “diantara segala perbedaan yang memisahkan bangsa Yahudi dan bangsa Samaria, tempat orang menyembah, merupakan salah satu yang paling pokok.”[7] Namun “di dalam tatanan baru yang di mulai dengan kedatangan Kristus, tempat penyembahan tidak sepenting Tokoh yang disembah.”[8] FF.Bruce juga menekankan : “The important question is not where people worship God but how they worship him.”[9]
“Tanggapan Tuhan Yesus terdiri dari Tiga bagian. Pertama (ayat 21) Dia memberitakan bahwa sebentar lagi kedua tempat ibadah menjadi usang, kedua (ayat 22) Dia menekankan bahwa keselamatan memang muncul dari umat Yahudi, bukan dari mereka, dan ketiga (ayat 23-24) Dia menjelaskan mengenai sifat keselamatan itu.”[10]
“Hal yang penting ialah bahwa orang menyembah Bapa, yang sudah diberitakan melalui kedatangan Sang Anak. Dengan mempergunakan istilah kamu Yesus mungkin mengantisipasi pertobatan orang-orang Samaria. Ibadah orang Samaria merupakan hal yang kacau (bdg II Raja 17:33). Keselamatan datang dari bangsa Yahudi di dalam arti bahwa penyataan khusus tentang cara mendekati Allah dengan benar disampaikan kepada mereka : dan Yesus sendiri, sang Juruselamat, berasal dari bangsa ini (Roma 9:5). Saatnya… sudah tiba sekarang. Bahkan sebelum sistem keagamaan yang baru diresmikan dengan sifatnya yang universal, para penyembah sejati memperoleh kehormatan untuk menyembah Allah sebagai Bapa di dalam Roh dan kebenaran. Roh tampak menoleh kebelakang, ke Yerusalem, dan penyembahan Yerusalem yang berdasarkan apa yang tersurat (hukum Taurat). Sedangkan kebenaran bertentangan dengan penyembahan orang Samaria yang tidak memadai dan palsu. Cara menyembah yang baru ini merupakan keharusan, sebab Allah itu Roh adanya”.[11]
1. Menyembah dalam roh.
Yoh 4:23 Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian.
Yoh 4:24 Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran."
Bahasa Yunani menyembah “proskuneo – pros-koo-neh-o, memuja, suatu sikap seperti anjing menjilat tuannya.”[12] Suatu hubungan yang dekat, hormat, lembut, taat dan penuh kasih sayang yang harmonis.
“Pengertian Allah itu Roh, bukanlah hal asing dalam pengertian Yudaisme, tetapi Yesus menekankan bahwa penyembahNya-pun harus selaras dengan Yang disembah. Formalitas ibadah keagamaan tidak akan menyentuh apa-apa jika dilakukan tanpa “Roh”.”[13]
Bob Sorge mengemukakan : “Yesus sedang menunjukkan bahwa penyembahan tidak lagi diikat pada waktu atau tempat tertentu ( bukan di Yerusalem, di mana orang-orang Yahudi menyembah ; bukan juga di gunung Gerizim, di mana orang-orang Samaria menyembah) ; melainkan ia akan menjadi suatu pekerjaan roh manusia menggapai Roh Tuhan. Yesus tahu saatnya segera datang yang mana korban-korban hokum Musa di Yerusalem tidak lagi diperlukan, dan penyembahan akan terjadi di dalam rumah Perjanjian Baru – manusia sendiri ( Lihat I Kor.3:16). Penyembahan sekarang dapat terjadi setiap saat, di mana saja orang yang penuh Roh berada.”[14]
Walliam Barclay juga menyatakan :“ Membatasi ibadah kepada Allah hanya di Yerusalem atau tempat-tempat lain yang tertentu saja adalah sama dengan memberi batas kepada Dia yang menurut hakekat-Nya sendiri tidak terbatas.”[15]
2.Menyembah dalam kebenaran.
Menyembah Allah bukan hanya dalam roh tetapi juga dalam kebenaran. “Penekanan "roh" (Yunani, πνευμα – pneuma), harus bersejajar dengan "kebenaran" (Yunani, αληθεια - alêtheia) ini harus dilakukan oleh penyembah-penyembah yang "sejati" (Yunani, αληθινος - alêthinos, Adj).[16]” James Montgomery Boise mengungkapkan : ”For Jesus said that those who acknowledge God’s true worth must do so “in spirit and in truth.” In other wods, they must do so “in truth” because truth has to do with what His nature is, and they must do so “in spirit” because they can only apprehend it spirituality.”[17]
“Dihubungkannya roh dan kebenaran memberi keterangan atas makna “The True worshipers ; mereka ini adalah kelompok orang yang benar-benar berbakti, dan berbeda dengan orang-orang lain yang “nampaknya” saja berbakti dengan melakukan “tingkah laku agamawi” dan “symbol-simbol agamawi.”[18]
Menurut James Montgomery Boice Menyembah dalam kebenaran memiliki tiga arti : “ First, it means that we must approach God truthfully, that is, honestly or wholeheartedly ; Second we must worship on the basis of the biblical revelation ; Finally, to God “in truth” also means that we must approach God Christocentrically. This is means “in Christ,” for this is God’s way of approach to Him.’[19]
3.
Wacana Konsep Teologis Menyembah
Perlu disadari bahwa ada penekanan yang berbeda ketika kita mencoba mengetengahkan kata “menyembah” dikalangan pentakosta dan kharismatik dengan mainstream dan Injili. Agi orang-orang Pentakosta dan kharismatik “penyembahan” berkonotasi pada bagian dari doa pribadi dan liturgi ibadah. Sedangkan bagi denominasi lain tidak seperti itu. Sebab itu untuk memudahkan membangun konsep yang benar perlu mencermati pengertian “menyembah” diantara mereka.
A. Penyembahan sebagai cara hidup.
John MacArthur, Jr meskipun menyinggung penyembahan dalam ibadah gereja, tetapi konsep penyembahannya berbeda dengan kalangan pietis. Pemaparan John MacArthur, Jr lebih mewakili gereja diluar aliran pietis. Ia memberikan pengertian penyembahan sebagai keseluruhan hidup orang percaya : “Pengertian kita tentang penyembahan diperkaya ketika kita memahami bahwa penyembahan sejati menyentuh setiap bidang kehidupan. Kita harus menghargai dan memuja Allah dalam segala hal.”[20] “ Memuji Allah, berbuat baik, dan memberi bantuan kepada orang lain-semua adalah tindak penyembahan yang benar dan alkitabiah.”[21] Rick Warren menegaskan : “ mempersembahkan diri kita kepada Allah itulah yang dimaksud dengan penyembahan.”[22]
John MacArthur, Jr membagi penyembahan dalam tiga dimensi : “Pertama, dapat tercermin dalam bagaimana kita bersikap terhadap orang lain ( Roma 14:18). Penyembahan dapat dinyatakan dengan membagi kasih dengan sesama orang percaya, mengabarkan Injil kepada orang-orang yang tidak percaya, dan memenuhi kebutuhan umat pada tingkat yang sangat jasmani. Kita dapat meringkasnya menjadi satu kata : penyembahan yang berkenan kepada Allah adalah member, yaitu kasih yang membagi ; Kedua, melibatkan tingkah laku pribadi (Efesus 5:8-10). Kata berkenan dalam kalimat ujilah apa yang berkenan kepada Tuhan adalah dari bahasa Yunani yang berarti “dapat diterima”. Dalam konteks ini, ia mengacu kepada kebaikan, keadilan dan kebenaran, yang jelas berarti bahwa berbuat baik adalah tindakan yang dapat diterima sebagai penyembahan kepada Allah ; Ketiga, dimensi ke atas (Ibrani 13:15-16), penyembahan itu adalah Ucapan syukur dan puji-pujian.”[23]
B. Penyembahan dalam pemahaman pietisme.
Meskipun tidak memungkiri bahwa hidup ini merupakan ibadah kepada Allah yang didalamnya kita menyembah Allah, kalangan pietime memiliki kekhususan sendiri tentang arti dan praktek menyembah. Mereka lebih menganggap menyembah itu suatu “momen” berhadapan langsung dengan waktu dan cara tertentu. Penyembahan ini bisa bersifat pribadi ketika bersaat teduh atau doa pribadi dan kelompok (bagian dari liturgi gereja).
Penyembahan bagi kalangan gereja kontemporer lebih merupakan “pemujaan” penuh ekpresi panca indra kepada Allah secara langsung dengan “bermazmur atau berbahasa roh”. Ini tentunya berbeda dengan berdoa dan bernyanyi, bahkan boleh dikatakan perpaduan dari keduanya. Simak apa yang di sampaikan Djohan E.Handoyo :
“ Penyembahan tidak hanya berupa suatu gerakan tubuh atau karya pikiran manusia untuk berserah kepada sesuatu yang lebih besar. Penyembahan adalah menikmati hubungan kita dengan-Nya.”[24]
“Penyembahan adalah ungkapan hati dan penyerahan total kepada Tuhan lebih dari sekedar memuji Tuhan. Kalau pujian adalah suatu ucapan syukur atas segala perbuatan Tuhan, penyembahan adalah pengakuan bahwa saya adalah milik-Nya dan Tuhan dalah milik saya.”[25]
Meskipun pemaparan Djohan E. Handoyo ini tidak menjelaskan secara spisifik tentang penyembahan, namun apa yang dikatakannya cukup memberi gambaran tentang apa itu penyembahan. Bagi kalangan pietis lebih tepat mengatakan seperti apa yang diungkapkan Morris Smith :” Penyembahan yang sejati menyimpang dari definisi ; ia hanya dapat dialami.”[26]
Penyembahan di dalam liturgi ibadah gereja-gereja kontemporer memiliki posisi dan porsi yang penting, sama seperti doa, pujian dan firman Tuhan. Dengan berbagai fariasinya penyembahan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan keagamaan kalangan akar Pentakosta dan Kharismatik.
4.
Memahami Secara Utuh
Menyembah Dalam Roh dan Kebenaran
Secara utuh pembicaraan Tuhan Yesus dengan perempuan Samaria adalah tentang ibadah yang benar kepada Allah. Ibadah itu berhulu kepada kata “menyembah”. Dan konsep teologis penyembahan dalam arti yang luas sebenarnya berkaitan dengan keberadaan orang percaya dihadapan Allah.
Hal utama yang perlu dicermati ketika Yesus memperbincangkan wacana menyembah dalam roh dan kebenaran sebenarnya lebih kepada tatanan makna. Tuhan Yesus lebih mementingkan esensi dari siapa yang disembah dengan cara tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Bukan metodenya tetapi sikapnya yang menjadi titik perhatian-Nya.
Untuk memahami secara utuh tentang konsep teologis menyembah dalam roh dan kebenaran, maka kita harus kembali kepada esensi utamanya dan tidak terjebak kepada hal-hal praktis yang sebenarnya lebih kepada ekspresi.
A. Menyembah : relasi dengan Allah sesuai Firman-Nya.
Hal yang prinsip dalam menterjemahkan menyembah Allah dengan roh dan kebenaran adalah bagaimana kita berelasi dengan Tuhan sesuai dengan Firman-Nya. Mengenal pribadi Allah dengan benar, sesuai dengan apa yang Dia ajarkan.
Bait Allah adalah tempat dimana Allah bersekutu dengan umat-Nya. Konsep bait Allah di dalam Alkitab mengalami perubahan yang revolusioner. Di dalam Perjanjian Lama bait Allah adalah bangunan secara fisik, namun di dalam Perjanjian Baru bait Allah adalah tubuh dan pribadi orang percaya. 1Kor 6:19 : “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?”
Secara teologis meskipun mengalami perubahan secara revolosioner namun esensi bait Allah tetap merupakan tempat persekutuan antara Allah dengan umat-Nya. Kemah Suci jaman Musa dibangun sebagai kehendak Allah untuk bersekutu dengan umat-Nya. Keluaran 29:45 :” Aku akan diam di tengah-tengah orang Israel dan Aku akan menjadi Allah mereka.” Di dalam persekutuan dengan Allah, umat-Nya harus mempersembahkan tubuhnya sebagai persembahan yang hidup. Rom 12:1 : “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah : itu adalah ibadahmu yang sejati.”
Di dalam konteks hidup sebagai persembahan inilah kehadiran Allah nyata di diri umat-Nya dan penyembahan mengalir dari kehidupan umat-Nya. Di dalam makna ini juga penyembahan melibatkan seluruh aspek kehidupan. Walliam Barclay menyatakan : “Kalau Allah itu roh, maka persembahan manusia kepada Allah haruslah juga persembahan roh. Persembahan korban binatang dan barang-barang lain buatan manusia tidaklah cukup. Persembahan yang berkenan kepada hakekat Allah hanya persembahan roh, yaitu kasih, kesetiaan, ketaatan dan penyerahan diri.”[27]
Selanjutnya sebagai bait Allah, Roma 12:1 diikuti Rom 12:2 : “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Sebagai bait Allah orang percaya harus hidup sesuai kehendak Allah : Kebenaran yang Allah berikan melalui fiman-Nya.
B. Menyembah : Ekspresi pengagungan Tuhan.
Relasi dengan Allah secara umum adalah di dalam seluruh aspek kehidupan kita dan secara khusus merupakan persekutuan pribadi dan ibadah di gereja. Ibadah gereja merupakan persekutuan umat dengan Allah. Di dalam ibadahlah umat memuji dan mendengarkan Firman Allah. R.C.Sproul seorang teolog Injili menjelaskan : “Ketika kita beribadah, kita membawa seluruh diri kita ke dalam tindakan berbakti kepada Allah dan berkomunikasi dengan Allah. Ada banyak cara untuk melakukan hal ini. Manusia bukan mahluk yang sederhana, melainkan bersifat kompleks. Jika kita dengan teliti menyelidiki apa yang tertulis di dalam Kitab Suci – bahwa kita harus menyembah Allah dengan seluruh jiwa, dengan seluruh tubuh dan dengan seluruh panca indera kita – kita akan mempunyai suatu pandangan baru tentang beribadah”[28] “Penglihatan, pendengaran, perasaan, sentuhan, penciuman –semuanya tercakup dalam pengalaman manusia. Kita dipengaruhi oleh panca indera dan juga dipengaruhi oleh pikiran. Pikiran kita, tubuh kita, jiwa kita, hati kita-seluruh diri kita harus terlibat di dalam ibadah. Saya yakin bahwa jika kita membuang salah satu segi kemanusiaan kita, berarti kita membuat ibadah kita menjadi miskin.”[29]
Bagi Ron Jenson dan Jim Stevens “Menyembah adalah mengadakan kontak dengan Allah – berdoa kepada Allah, memuji, menyanyi kepada Allah, mengaku di hadapan Allah dan memberi tanggapan kepada Allah sebagaimana Ia telah ditinggikan dan dinyatakan dalam Firman-Nya. Tujuannya adalah untuk memberi sesuatu, bukan untuk menerima sesuatu. Berkat pasti akan datang, karena menerima adalah hasil dari memberi.”[30]
Bagi kalangan pietis apostolik baru, penyembahan merupakan realitas dari pengagungan Tuhan dengan melibatkan seluruh panca indra dan emosi. Bahkan ada yang mengharuskan penyembahan dengan berbahasa roh.
C. Menyembah : relasi dengan intelektual dan ekspresi.
Meskipun tidak memberikan penyelesaian akhir, namun persoalan pokok tentang penyembahan sebenarnya bermuara pada dua kutup “intelektual dan ekspresi”. “Suatu kubu menyatakan bahwa perasaan religious adalah esensi kerohanian sejati. Apa yang Anda percayai atau lakukan tidaklah begitu penting, asalkan kasih Tuhan kepada jiwa Anda bisa Anda rasakan.”[31] Sementara yang lain berpendapat “inti dari kerohanian yang sejati adalah berpikir benar. Para pendukung pandangan ini berpendapat bahwa perasaan tidaklah terlalu penting dibandingkan doktrin dan sikap mental. Menurut mereka, keyakinan yang benar membuat jiwa tetap terikat pada fondasi kebenaran, sementara perasaan sifatnya berubah-ubah dan sering menyeret orang yang tidak tahu pada kesia-siaan.”[32]
Kubu pertama adalah gereja-gereja yang lebih menekankan pengalaman dari pada doktrin. Sedangkan kelompok kedua “lebih bersifat intelektual, kurang menyentuh aspek emosi dan tidak diwarnai antusiasme yang nyata. ”Penyembahan” yang dikenal dikelompok ini adalah menyanyikan lagu-lagu rohani yang membosankan dan dinyanyikan dengan kurang semangat.”[33]
Jonathan Edward tidak menyetujui ekstrim sepihak dari kedua kubu tersebut. “Menurutnya pandangan bahwa kerohanian sejati yang berpusat pada salah satu dari perasaan atau keyakinan adalah menyesatkan. Baik pikiran ataupun hati, keduanya sangat penting dan esensial bagi kerohanian yang sejati, sebab manusia adalah satu kesatuan. Kerohanian melibatkan setiap dimensi dari keberadaan manusia, baik perasaan, pikiran, maupun tindakan. Mempertentangkan antara pikiran dan perasaan, atau antara pikiran dan hati, sama dengan membagi seseorang menjadi seseorang menjadi bagian yang lepas.”[34]
John MacArthur, Jr memberikan kesimpulan yang baik : “Ketulusan, kegairahan, dan sikap agresif penting, tetapi semua itu harus didasarkan kepada kebenaran. Dan kebenaran adalah dasar, tetapi bila tidak menghasilkan hati yang berhasrat, gembira dan bergairah, penyembahan tersebut tidak lengkap.”
Secara pribadi penulis lebih cenderung kepada pemahaman bahwa orang percaya mesti pundasi yang kuat tentang doktrin iman Kristen. Namun pada sisi yang lain tetap bergairah, antusias dan hangat dalam mengekpresikan emosi atau perasaan dalam pengagungan kepada Tuhan. Intelektual tidak dingin, ekpresi tidak antipati terhadap intelektualitas-keduanya saling melengkapi. Namun demikian pada akhirnya memang perlu juga mencamkan apa yang dikatakan oleh Bob Sorge : “Tidak ada satu definisi pun yang tampaknya dapat mengekpresikan secara tepat tentang penyembahan secara lengkap – mungkin karena penyembahan adalah pertemuan Ilahi sehingga kedalamannya tidak sebatas sebagaimana Allah sendiri.”[35]
Rick Warren,Kehidupan yang digerakkan oleh Tuhan. Malang : Penerbit Gandum
Mas,2005.
R.C.Sproul, Menanggapi Allah dalam Ibadah. Malang : Penerbit Gandum Mas, 2002
Ron Jenson dan Jim Stevens, Dinamika Pertumbuhan Gereja. Malang : Penerbit
Gandum Mas,1996.
Wiliam Barlay, Pemahamn Alkitab Setiap Hari. Jakarta : BPK Gunung Mulia,1983
[1] Djohan E. Handoyo, Praise and Worship(Yogyakarta : Penerbit ANDI, 207) hal.50
[2] John MacArthur, Prioritas Utama dalam Penyembahan (Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 1993) hal. 151
[3] Ibid, hal. 162
[4] Charles F. P. Feiffer dan Everett F. Horrison, Tafsiran Alkitab Wycliffe Vol.3 PB , Everett F. Horrison, Yohanes ( Malang :Yayasan Penerbit Gandum Mas, 2001) hal.315
[5] Dave Hagelberg Tafsiran Injil Yohanes Pasal 1-5 (Yogyakarta : Yayasan Andi, 1999)hal.168
[6] Charles F. P. Feiffer dan Everett F. Horrison, Tafsiran Alkitab Wycliffe Vol.3 PB , Everett F. Horrison, Yohanes ( Malang :Yayasan Penerbit Gandum Mas, 2001) hal.315
[7] Dave Hagelberg Tafsiran Injil Yohanes Pasal 1-5 (Yogyakarta : Yayasan Andi, 1999)hal.168
[8] Charles F. P. Feiffer dan Everett F. Horrison, Tafsiran Alkitab Wycliffe Vol.3 PB , Everett F. Horrison, Yohanes ( Malang :Yayasan Penerbit Gandum Mas, 2001) hal. 316
[9] FF.Bruce, The Gospel Of John ( Grand Rapid : William B.Eerdmans Publishing Company,1983).hal.109
[10] Dave Hagelberg Tafsiran Injil Yohanes Pasal 1-5 (Yogyakarta : Yayasan Andi, 1999)hal.169
[11] Charles F. P. Feiffer dan Everett F. Horrison, Tafsiran Alkitab Wycliffe Vol.3 PB , Everett F. Horrison, Yohanes ( Malang :Yayasan Penerbit Gandum Mas, 2001) hal.315-317
[12] Strong”s Hebrew Greek Dictionaries, Joh 4:24, e-Sword
[13] Bagus Pramono,” Yesus dan Perempuan Samaria,” www.sarapanpagi.org; diakses tanggal 23 Junuari 2008; tersedia di www.sarapanpagi.org/yesus-dan-perempuan-samaria-vt465.html
[14] Bob Sorge, Mengungkap Segi-Segi Pujian dan Penyembahan (Yogyakarta :Yayasan ANDI,1991) hal.63
[15] Wiliam Barlay, Pemahamn Alkitab Setiap Hari ( Jakarta : BPK Gunung Mulia,1983), hal.273
[16] Bagus Pramono,” Perempuan Samaria,” www.sarapanpagi.org; diakses tanggal 23 Junuari 2008; tersedia di www.sarapanpagi.org/penyembah sejati vt283.html
[17] James Montgomery Boice, The Gospel of John V 1 (Grand Rapids, Zondervan Publishing House,1981), hal.365
[18] Sarapanpagi,” Penyembah Sejati,” www.sarapanpagi.org; diakses tanggal 23 Januari 2008; tersedia di www.sarapanpagi.org/penyembahsejati-vt283.html
[19] James Montgomery Boice, The Gospel of John V 1 (Grand Rapids, Zondervan Publishing House,1981), hal.368
[20] John MacArthur, Prioritas Utama dalam Penyembahan (Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 1993) hal.29
[21] John MacArthur, Prioritas Utama dalam Penyembahan (Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 1993) hal.29
[22] Rick Warren,Kehidupan yang digerakkan oleh Tuhan (Malang : Penerbit Gandum Mas,2005). Hal.86
-[23] John MacArthur, Prioritas Utama dalam Penyembahan (Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 1993) hal.28-29
[24] Djohan E. Handoyo, Praise and Worship(Yogyakarta : Penerbit ANDI, 207) hal.4
[25] Ibid, hal.4
[26] Bob Sorge mengutip Morris Smith, Mengungkap Segi-Segi Pujian dan Penyembahan (Yogyakarta :Yayasan ANDI,1991) hal.52
[27] Wiliam Barlay, Pemahamn Alkitab Setiap Hari ( Jakarta : BPK Gunung Mulia,1983), hal.273
[28]R.C.Sproul, Menanggapi Allah dalam Ibadah ( Malang : Penerbit Gandum Mas, 2002), hal.550
[29] Ibid, hal.551
[30] Ron Jenson dan Jim Stevens, Dinamika Pertumbuhan Gereja ( Malang : Penerbit Gandum Mas,1996),hal.41
[31] Gerald R.McDermott, Mengenali 12 Tanda Kerohanian Sejati ( Yogyakarta : Yayasan Andi, 1995), hal.31
[32] Gerald R.McDermott, Mengenali 12 Tanda Kerohanian Sejati ( Yogyakarta : Yayasan Andi, 1995), hal.31
[33] Ibid, hal.32
[34] Ibid, hal.33